Mohon tunggu...
nadia mu’minatuzzahro
nadia mu’minatuzzahro Mohon Tunggu... mahasiswa

Nadia Mu’minatuzzahro Mahasiswi yang memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan, kajian sosial, budaya, dan keislaman. Aktif menulis sebagai bentuk refleksi dan kontribusi dalam menyuarakan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan melalui media digital.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Membutakan dan Cahaya di Ujung Doa

19 Juni 2025   14:30 Diperbarui: 19 Juni 2025   19:29 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan turun pelan di kota kecil itu, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang sulit diungkapkan oleh manusia. Di balik jendela rumah putih yang mulai pudar, Naira duduk termenung dengan air mata yang mengalir tanpa henti, entah sejak kapan. Ia berbisik lirih, “Cinta tak seharusnya menyakiti,” namun kata-kata itu terasa hampa bahkan di telinganya sendiri.

Naira pernah mencintai seorang lelaki dengan sepenuh hati. Ia rela mengorbankan waktu dan kebahagiaannya demi menjaga hubungan yang ia yakini akan abadi. Cinta itu membuatnya buta—bukan karena tidak bisa melihat, tetapi karena terlalu lama memaksakan harapan pada cinta yang salah. Ia mengabaikan sahabat, keluarga, bahkan pelajaran dan cita-citanya. Namun, takdir berkata lain.

Hari patah hati itu datang, membawa rasa sakit dan kecewa yang membuatnya terpuruk dalam kesendirian. Naira merasa kehilangan arah, seolah hidupnya tak berarti lagi. Di malam yang dingin, ia berbisik kepada dirinya sendiri, “Kenapa harus aku? Apa salahku?” Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rintik hujan yang mengetuk jendela.

Namun, di titik terendah itu, ia menemukan secercah harapan. Naira mulai membuka hatinya kepada Allah, memohon petunjuk dan kekuatan. Malam itu, di antara isak tangis dan rintik hujan, ia memohon satu hal sederhana: bukan agar cinta yang hilang kembali, melainkan agar dirinya bisa keluar dari kegelapan yang sudah terlalu lama menyelimuti.

Proses penyembuhan tidak instan. Ada hari-hari ketika Naira ingin kembali ke masa lalu. Namun, sahabat-sahabatnya selalu ada—mengingatkan, memeluk, menemani, dan tertawa bersamanya. Seiring waktu, Naira bangkit dari keterpurukan. Ia mulai memperbaiki dirinya, mengejar mimpi yang sempat terlupakan, dan membangun kembali hubungan dengan orang-orang yang mencintainya.

Ia tak lagi bertanya mengapa cinta bisa menyakitinya. Pendekatannya kepada Allah memberinya ketenangan dan kekuatan yang luar biasa. Naira menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki seseorang, tetapi juga tentang mencintai diri sendiri dan Sang Pencipta.

Kini, Naira berjalan dengan penuh keyakinan dan harapan. Luka lama telah menjadi pelajaran berharga yang menguatkan langkahnya. Cinta yang dulu membutakan kini berubah menjadi cahaya yang membimbingnya menuju kehidupan yang lebih baik dan bermakna.

Kisahnya mengajarkan bahwa di balik setiap luka, selalu ada hikmah dan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, asalkan kita berjalan di jalan Allah dengan hati yang ikhlas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun