Topik gentrifikasi di Indonesia memang menjadi perbincangan yang hangat dan kontroversial.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, "Kemana lagi penduduk asli akan berpindah?" Apakah mereka harus kembali ke kehidupan nomaden dan mengikuti seleksi alam seperti teori Darwin?
Pergusuran, peralihan lahan wilayah perindustrian secara besar-besaran, hingga pembuatan kebijakan peruntukan tanah yang lebih menguntungkan kalangan atas, mengharuskan kita membuka mata lebar-lebar dan menyadari hilangnya cita-cita bangsa untuk menjunjung tinggi kemerdekaan.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak bangsa dan masyarakat Indonesia untuk merdeka, berdaulat, dan berpartisipasi dalam pembangunan negara adalah landasan bagi upaya mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Namun, gentrifikasi justru mengancam hak-hak tersebut.
1. APA ITU GENTRIFIKASI?
Secara sederhana, gentrifikasi adalah proses perpindahan penduduk berpenghasilan tinggi ke wilayah yang sebelumnya dihuni oleh penduduk berpenghasilan rendah.
Proses ini sering kali menggeser penduduk asli dan membawa dampak perubahan struktur harga, gaya hidup, serta demografi kota.
2. Antara UMR dan Harga Tanah
Fakta menariknya, harga tanah di pusat Yogyakarta kini mencapai sekitar Rp 10 juta per meter persegi, sementara Upah Minimum Provinsi (UMR) Yogyakarta pada tahun 2025 hanya sebesar Rp 2.264.080,95.
Dengan kata lain, penduduk lokal yang bergantung pada UMR tersebut sangat sulit untuk membeli tanah, bahkan satu meter persegi pun.
3. SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF TERHADAP BUDAYA LOKAL
Gentrifikasi memang memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, kenaikan harga tanah dan properti dapat berpengaruh negatif, seperti munculnya sikap diskriminatif dan hilangnya identitas lokal.
Di sisi lain, gentrifikasi juga dapat meningkatkan lapangan kerja, investasi, dan pembangunan, serta revitalisasi lingkungan. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mempertahankan tempat tinggal penduduk asli di tengah arus gentrifikasi yang semakin kuat?
Kita dihadapkan pada dua pilihan: apakah ingin menjaga keberlanjutan (sustainability) atau menerima kenyataan dan tersingkir begitu saja?Jika kita memilih untuk menjaga keberlanjutan, maka kita harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI