Mohon tunggu...
Nadia Basri
Nadia Basri Mohon Tunggu... -

Pembelajar, Economicholic, Love My Country Indonesia. (Study at The Business School, Bournemouth University, UK)

Selanjutnya

Tutup

Financial

Batas Kemiskinan dan Batas Akal Sehat Rakyat Saat Ini

19 Juli 2018   14:15 Diperbarui: 19 Juli 2018   14:22 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemiskinan di DKI Jakarta. Sumber : Kompas.com

Senin lalu (16/7/2018), pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2018, yaitu 25,95 juta jiwa atau 9,82 persen dari seluruh rakyat Indonesia. Jumlah itu yang terendah sepanjang sejarah Indonesia, karena pertama kalinya presentase penduduk miskin di Indonesia berada di angka satu digit (di bawah 10 persen).

Pasca Krisis Moneter (Krismon) 1998, presentase penduduk miskin Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi masih di atas 10 persen.

Menarik melihat respon beberapa kelompok "masyarakat" yang bukannya mendukung upaya pengentasan kemiskinan di bumi Indonesia, tetapi justru mempertanyakan parameter baku BPS dalam mengukur kemiskinan. Ya, rumus perhitungan yang telah digunakan bertahun-tahun digunakan kini dipersoalkan, khususnya oleh kelompok rakyat yang selalu menganggap pemerintah salah.

Mereka menyoal kalau yang termasuk penduduk miskin menurut BPS ialah orang yang pendapatannya Rp 11.000/hari. Ironisnya itu merupakan berita palsu (hoaks). BPS tidak pernah mengatakan hal demikian. Setelah dicek, sumber berita yang dikutip merupakan media tidak kredibel pada 2017, pun angka Rp 11.000 itu keluar bukan dari BPS, melainkan dari mulut seorang anggota DPR dari Partai Gerindra (oposisi), Heri Gunawan.

Seperti yang dikutip dari beberapa media kredibel, seperti bbc.com , detik.com , Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Hermawati Marhaeni menyampaikan, yang termasuk penduduk miskin ialah yang pendapatan per bulannya di bawah Rp 401.220. Dengan demikian, jika dihitung per hari, yaitu Rp 13.374. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding angka Rp 11.000 yang kini coba diviralkan.

Apakah pada 2017 batas kemiskinannya Rp 11.000? Ternyata itu pun salah, karena pada Maret 2017 BPS mengatakan, penduduk yang tergolong miskin adalah yang penghasilannya kurang dari Rp 361.496 per bulan, atau Rp 12.049 per hari.

data jumlah penduduk miskin Indonesia dari tahun ke tahun. Sumber : bps.go.id
data jumlah penduduk miskin Indonesia dari tahun ke tahun. Sumber : bps.go.id
Bagaimana menghitung penduduk miskin? Ternyata, penentuan penduduk miskin juga tidak sesembarangan yang kita kira. Ada rumus baku yang ditetapkan BPS, yang didalamnya terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan, yaitu pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari (kebutuhan dasar makanan seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, minyak, kacang-kacangan dan buah buahan) serta Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) yang terkait kebutuhan minimum masyarakat untuk perumahan, pakaian, pendidikan dan kesehatan.

Data dua hal tersebut yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Konsumsi dan Pengeluaran, kemudian dihitung dan muncul angka yang disebut Garis Kemiskinan. Tentu saja, inflasi, kenaikan harga dan sebagainya masuk dalam hitungan. Itulah sebabnya penghasilan minimal penduduk yang termasuk miskin meningkat setiap tahunnya.

Kenapa angka Rp 11.000 muncul? Tentu saja itu sebuah strategi dalam mempengaruhi opini. Masyarakat cenderung mudah percaya terhadap suatu pendapat jika disertai data, khususnya angka. Dalam hal ini, angka penurunan kemiskinan yang mencatatkan rekor berada di satu digit (9,82 persen) tidak bisa dibantah.

Mereka yang "hampir putus asa" mengolok - olok pemerintah pun akhirnya menemukan cara, yaitu menampilkan data palsu (Rp 11.000) agar masyarakat tidak mempercayai prestasi pemerintah dalam hal menurunkan angka kemiskinan.

Sekali lagi, akal sehat kita sedang diuji. Dalam demokrasi, mengkritik (bukan memfitnah) pemerintah tentu saja hal yang baik. Namun, salahkah kita memberi apresiasi ketika pemerintah  berprestasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun