Anak yang terbiasa mendengar "Hari ini kita mau apa?" belajar memproyeksikan diri ke depan. Mereka tidak hanya menjalani rutinitas, tetapi juga memahami makna di baliknya. Ini membentuk kebiasaan refleksi sejak dini.
Selain itu, komunikasi sederhana ini memperkuat ikatan keluarga. Saat anak merasa didengar dan dilibatkan, mereka tumbuh lebih percaya diri menghadapi tantangan hari itu.
6. Membatasi paparan gadget di pagi hari
Dalam Glow Kids karya Nicholas Kardaras, paparan layar berlebihan terbukti mengganggu perkembangan korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas konsentrasi dan pengendalian diri. Pagi yang dipenuhi layar justru membuat anak sulit fokus di sekolah.
Banyak orang tua memberi gadget agar anak tenang sarapan atau menunggu berangkat. Padahal, kebiasaan ini melatih otak untuk mencari distraksi sejak pagi. Anak pun lebih mudah bosan ketika tidak ada layar.
Menggantinya dengan interaksi sederhana, membaca, atau sekadar bercakap-cakap, jauh lebih bermanfaat. Anak belajar mengisi waktu dengan hal yang memberi stimulasi nyata pada otak, bukan sekadar hiburan pasif.
7. Melatih rasa syukur sejak pagi
Menurut The Optimistic Child karya Martin Seligman, melatih anak untuk menyebutkan hal-hal yang disyukuri dapat menumbuhkan optimisme dan resiliensi. Ini bukan hanya soal moral, tetapi juga strategi psikologis yang memperkuat kecerdasan emosional.
Anak yang terbiasa bersyukur lebih mudah menghadapi kegagalan, karena mereka belajar melihat sisi positif dari situasi. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk membangun kebiasaan ini.
Cukup dengan mengajak anak menyebutkan tiga hal yang membuatnya bahagia hari itu. Kebiasaan kecil ini menguatkan pola pikir yang sehat, sekaligus membentuk otak yang lebih tahan terhadap stres.