Mohon tunggu...
NABIL xavier
NABIL xavier Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkembangan study islam di barat

1 Oktober 2025   20:25 Diperbarui: 1 Oktober 2025   20:32 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Perkembangan Studi Islam di Barat: Dari Orientalisme Hingga Era Digital

Halo, teman-teman! Kalau kamu penasaran gimana sih Islam dipelajari di dunia Barat—kayak di Amerika, Inggris, atau Eropa—artikel ini bisa jadi pintu awal. Jangan bayangin studi Islam di Barat itu cuma soal baca Al-Qur’an atau menghafal sejarah Nabi Muhammad SAW, ya. Faktanya, bidang ini jauh lebih luas: meliputi sejarah, budaya, filsafat, hukum, hingga bagaimana Islam berinteraksi dengan masyarakat modern di sana.
Kenapa penting dibahas? Karena banyak kesalahpahaman soal Islam justru muncul dari kurangnya pengetahuan. Dengan tahu perjalanan panjang studi Islam di Barat, kita bisa lihat gimana pemahaman itu berkembang—dari masa konflik, masa kolonial, sampai akhirnya jadi ruang dialog yang lebih terbuka hari ini.
 
Awal Perjumpaan: Dari Perang Salib hingga Andalusia
•Perjalanan panjang ini dimulai sejak abad ke-7 M, saat Islam mulai meluas dari Jazirah Arab ke berbagai belahan dunia. Orang Barat pertama kali kenal Islam bukan lewat kelas atau universitas, tapi lewat pertemuan yang penuh konflik: Perang Salib (abad ke-11–13). Pasukan Eropa yang berperang di Timur Tengah pulang membawa cerita, buku, bahkan benda-benda dari dunia Muslim.

Meski awalnya penuh ketegangan, ada sisi positifnya juga. Di Andalusia (Spanyol Muslim), pada masa yang sering disebut Convivencia, umat Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Di sana lahir banyak karya ilmiah Muslim yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Latin—misalnya pemikiran Ibnu Rusyd (Averroes). Dari sinilah Eropa belajar banyak hal: matematika, kedokteran, astronomi. Bisa dibilang, tanpa kontribusi peradaban Islam, Eropa mungkin nggak bakal mengalami masa Renaissance.

 

Orientalisme: Studi Islam ala Barat

•Memasuki abad ke-18 dan 19, lahirlah istilah Orientalisme. Ini adalah cara Barat mempelajari dunia Timur, termasuk Islam. Banyak sarjana Eropa menulis tentang Islam, tapi seringkali penuh bias kolonial. Tokoh seperti Edward Gibbon atau Gustave Le Bon menggambarkan Islam dengan sudut pandang “eksotis”, bahkan kadang merendahkan.

Kritik keras terhadap cara pandang ini datang dari Edward Said, seorang pemikir Palestina, lewat bukunya Orientalism (1978). Ia bilang, studi Islam di Barat dulu sering jadi alat pembenaran kolonialisme—seolah-olah Barat lebih unggul dan Islam hanya “objek studi”.

Meski begitu, dari era ini juga mulai muncul program formal studi Timur di universitas besar. Misalnya, Oxford membuka kursus bahasa Arab pada 1880-an. Walau awalnya lebih ditujukan untuk diplomat atau misionaris, tapi langkah itu tetap jadi tonggak awal.

Era Kolonial: Ilmu Jadi Alat Politik

•Abad ke-19 adalah masa puncak kolonialisme. Inggris menjajah India, Prancis menguasai Aljazair, Belanda di Indonesia. Studi Islam di Barat pun makin berkembang—sayangnya, sering dipakai untuk tujuan politik: memahami umat Islam agar lebih mudah dijajah.

Buku-buku populer seperti The Arabian Nights lebih menonjolkan Islam sebagai dongeng eksotis ketimbang agama besar dengan peradaban kaya.

Di Amerika, perhatian pada Islam baru benar-benar muncul setelah Perang Dunia II. Universitas seperti Harvard dan Princeton membuka program kajian Timur Tengah. Salah satu tokoh penting waktu itu adalah Hamilton Gibb, sejarawan asal Skotlandia, yang menulis buku Mohammedanism. Meski sudah ketinggalan zaman, karyanya jadi pijakan awal bagi studi Islam di AS.

Tapi, sejak negara-negara Muslim mulai merdeka setelah Perang Dunia II, perlahan suara sarjana Muslim mulai masuk. Misalnya Fazlur Rahman dari Pakistan, yang mengajar di University of Chicago pada 1960-an. Kehadirannya penting karena menghadirkan sudut pandang “orang dalam”, bukan hanya pandangan Barat semata.

 

Tokoh-Tokoh yang Membawa Angin Segar

•Studi Islam di Barat nggak bisa dipisahkan dari tokoh-tokoh hebat yang memperkaya bidang ini. Beberapa di antaranya:

• Annemarie Schimmel (Jerman) Ahli tasawuf yang menulis Mystical Dimensions of Islam (1975). Ia mengajarkan Barat untuk melihat Islam sebagai jalan spiritual, bukan sekadar politik.

• Wilfred Cantwell Smith (Kanada) Lewat bukunya The Meaning and End of Religion (1962), ia menekankan bahwa agama adalah pengalaman hidup, bukan hanya kumpulan doktrin.

• Seyyed Hossein Nasr (Iran/AS) Profesor filsafat Islam di George Washington University, ia menekankan ajaran Islam tentang kebijaksanaan (hikmah) dan menjaga lingkungan.

• Fatima Mernissi (Maroko) Tokoh feminis Muslim yang menulis Beyond the Veil (1978), mengkritisi stereotip tentang perempuan Muslim dari sudut pandang Islam sendiri.

Mereka menunjukkan bahwa studi Islam di Barat kini lebih beragam—tidak lagi hanya dari kacamata kolonial, tapi juga melibatkan suara Muslim, perempuan, dan perspektif baru.

 

Tantangan Besar: Bias dan Islamofobia

•Meski sudah maju, studi Islam di Barat tetap menghadapi tantangan. Warisan Orientalisme masih terasa. Banyak media Barat, termasuk film-film Hollywood, masih menggambarkan Muslim sebagai teroris atau masyarakat terbelakang.

Setelah tragedi 11 September 2001, perhatian terhadap Islam di Barat meningkat drastis. Universitas mendapat banyak dana untuk program studi Islam, tapi sering fokusnya sempit: terorisme, radikalisme, keamanan nasional. Hal ini menimbulkan rasa curiga dari umat Muslim, seolah-olah Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan.

Namun di sisi lain, perkembangan ini juga membuka peluang dialog. Organisasi akademik seperti American Academy of Religion berusaha menjaga diskusi tetap netral dan ilmiah. Studi Islam juga mulai digabung dengan bidang lain, misalnya psikologi, seni, hingga budaya pop. Contoh menarik: penelitian tentang komunitas hip-hop Muslim di Amerika yang menunjukkan bagaimana Islam beradaptasi dengan budaya modern.

 

Era Kontemporer: Islam di Ruang Digital

Kini, di awal abad ke-21, studi Islam di Barat berada di titik yang lebih inklusif. Lebih dari 100 universitas di Amerika punya program kajian Islam. Di Eropa, institusi seperti SOAS (London) atau Leiden University (Belanda) jadi pusat studi penting.

Bidangnya pun makin luas. Ada yang meneliti Islam dalam konteks migrasi, ada yang membahas peran Muslim di era digital, bahkan ada yang menganalisis data besar (big data) untuk mempelajari teks-teks klasik.

Teknologi juga membuka akses lebih lebar. Podcast, video YouTube, hingga kursus online membuat orang bisa belajar Islam dari mana saja. Lembaga seperti Yaqeen Institute menghadirkan konten yang menjembatani antara tradisi Islam dan diskusi akademis modern.

Ke depan, studi Islam di Barat kemungkinan besar akan lebih fokus pada isu global—seperti lingkungan, etika teknologi, dan dialog antaragama. Islam punya konsep khalifah (manusia sebagai penjaga bumi) yang bisa jadi kontribusi penting dalam isu perubahan iklim.

 

         Penutup: Apa Manfaatnya Buat Kita?

Dari kisah panjang ini, kita bisa lihat bahwa studi Islam di Barat telah berubah jauh: dari masa penuh bias kolonial menjadi ruang dialog yang lebih adil. Dari orientalisme hingga era digital, bidang ini terus berkembang.

Buat kita, memahami perkembangan ini penting supaya nggak terjebak pada stereotip. Dengan tahu sejarahnya, kita bisa melihat bahwa Islam bukan hanya objek kajian, tapi juga bagian penting dari peradaban dunia.

Kalau kamu baru mulai tertarik, nggak perlu langsung baca buku akademis berat. Bisa coba karya populer seperti No god but God dari Reza Aslan, atau nonton ceramah TED tentang Islam. Yang penting, buka diri untuk belajar dan berdialog.

Akhirnya, studi Islam di Barat bukan hanya cerita tentang “mereka” mempelajari “kita”. Sekarang, ini sudah jadi perjalanan bersama—antara sarjana Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, untuk saling memahami dan membangun dunia yang lebih toleransi.

(Sumber inspirasi: buku Edward Said, sejarah akademik umum, dan situs universitas seperti Harvard Divinity School. Ini bukan referensi akademis formal, tapi buat pemula yang mau mulai)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun