Di Amerika, perhatian pada Islam baru benar-benar muncul setelah Perang Dunia II. Universitas seperti Harvard dan Princeton membuka program kajian Timur Tengah. Salah satu tokoh penting waktu itu adalah Hamilton Gibb, sejarawan asal Skotlandia, yang menulis buku Mohammedanism. Meski sudah ketinggalan zaman, karyanya jadi pijakan awal bagi studi Islam di AS.
Tapi, sejak negara-negara Muslim mulai merdeka setelah Perang Dunia II, perlahan suara sarjana Muslim mulai masuk. Misalnya Fazlur Rahman dari Pakistan, yang mengajar di University of Chicago pada 1960-an. Kehadirannya penting karena menghadirkan sudut pandang “orang dalam”, bukan hanya pandangan Barat semata.
Tokoh-Tokoh yang Membawa Angin Segar
•Studi Islam di Barat nggak bisa dipisahkan dari tokoh-tokoh hebat yang memperkaya bidang ini. Beberapa di antaranya:
• Annemarie Schimmel (Jerman) Ahli tasawuf yang menulis Mystical Dimensions of Islam (1975). Ia mengajarkan Barat untuk melihat Islam sebagai jalan spiritual, bukan sekadar politik.
• Wilfred Cantwell Smith (Kanada) Lewat bukunya The Meaning and End of Religion (1962), ia menekankan bahwa agama adalah pengalaman hidup, bukan hanya kumpulan doktrin.
• Seyyed Hossein Nasr (Iran/AS) Profesor filsafat Islam di George Washington University, ia menekankan ajaran Islam tentang kebijaksanaan (hikmah) dan menjaga lingkungan.
• Fatima Mernissi (Maroko) Tokoh feminis Muslim yang menulis Beyond the Veil (1978), mengkritisi stereotip tentang perempuan Muslim dari sudut pandang Islam sendiri.
Mereka menunjukkan bahwa studi Islam di Barat kini lebih beragam—tidak lagi hanya dari kacamata kolonial, tapi juga melibatkan suara Muslim, perempuan, dan perspektif baru.