Mohon tunggu...
Nabil Hisyam
Nabil Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Program Studi Sosiologi Fakulatas Ilmu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Kampung Menjadi Kota: Pudarnya "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" Pada Mahasiswa UNJ

29 Juni 2025   05:11 Diperbarui: 29 Juni 2025   05:11 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian mahasiswa menunjukkan kecenderungan adaptif terhadap lingkungan urban yang multikultural. Interaksi dengan budaya populer, arus globalisasi, serta tekanan gaya hidup modern kerap kali mendorong mereka untuk merelatifkan bahkan meninggalkan sebagian nilai tradisional Minangkabau. Dalam kondisi ini, ABS-SBK tidak selalu menjadi kerangka berpikir utama dalam mengambil keputusan, baik secara moral maupun sosial."...Dari adat ini juga gue ngejalanin petatah petitih Minang yaitu "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" yang ngajarin kami tentang bersosial dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar"

Penelitian lain oleh Azura, dkk., mengungkapkan bahwa perantau muda Minang mengalami proses transformasi identitas budaya. Mereka tidak lagi membawa serta ABS-SBK sebagai identitas yang utuh, tetapi memilih menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman dan lingkungan baru mereka. Transformasi ini dinilai sebagai strategi adaptif, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan pemudaran nilai-nilai lokal jika tidak diimbangi dengan revitalisasi budaya secara sadar.

Oleh karena itu, di tengah realitas kota yang serba cepat dan kompetitif, ABS-SBK bukan lagi menjadi modal utama bagi mahasiswa perantau Minang. Ia telah bergeser dari nilai absolut menjadi nilai pilihan yang hanya dipertahankan jika dianggap relevan dan sesuai dengan konteks kehidupan baru mereka.Refi mengungkapkan beberapa hal terkait perubahan yang ia alami sebagai seorang mahasiswa rantau Minang:

"Ya gue waktu pertama kali masuk kuliah sempat mengalami yang namanya culture shock, di adat Minang kita diajarkan untuk bersosialisasi dan beradaptasi, dengan pedoman petatah petitih minang yang bunyi nya "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" yang berarti kita harus beradaptasi dengan lingkungan dimana kita hidup, jadi yaa beberapa adat ada yang harus dihilangkan karena kurang cocok dipakai di kehidupan kampus".

Dalam perspektif sosiologi, perubahan cara mahasiswa Minang melihat dan menjalani falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bisa dijelaskan lewat teori identitas sosial dari Henri Tajfel. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang membentuk identitas dirinya berdasarkan kelompok sosial tempat ia berasal, seperti suku atau agama. Mahasiswa Minang yang merantau ke kota besar seperti Jakarta dulunya menjadikan ABS-SBK sebagai pedoman hidup karena mencerminkan budaya dan agama mereka. Namun, saat berada di lingkungan yang lebih beragam dan modern, mereka mulai membandingkan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang berlaku di kota. Proses ini mendorong mereka untuk menyesuaikan diri agar diterima dalam lingkungan sosial baru yang berbeda dari kampung halaman.

Selain itu, banyak mahasiswa Minang mulai membentuk identitas baru yang lebih fleksibel dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup kota. Mereka memilih nilai-nilai budaya yang masih relevan, dan meninggalkan yang dirasa tidak cocok dengan kehidupan sehari-hari di perantauan. Hal ini menunjukkan bahwa identitas sosial bersifat dinamis dan bisa berubah sesuai dengan situasi. Jika tidak ada usaha untuk memperkenalkan kembali dan menyesuaikan ABS-SBK dengan kehidupan modern, maka nilai-nilai budaya Minangkabau ini bisa perlahan ditinggalkan oleh generasi muda.

Terbentuknya Identitas Baru: Perbandingan dan Perubahan

Secara sosiologis, perubahan sosial didefinisikan sebagai transformasi dalam struktur dan fungsi masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, norma, pola perilaku, dan hubungan sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat. Perubahan ini merupakan gejala universal yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat sebagai akibat dari interaksi dan adaptasi terhadap faktor-faktor internal, seperti penemuan baru dan konflik, maupun faktor eksternal. Proses ini dapat mengarah pada kemajuan ataupun kemunduran, serta mencakup modifikasi pada aspek kultural baik yang bersifat material maupun immaterial, yang pada akhirnya membentuk tatanan sosial yang baru.

Pada era 1980-an, mahasiswa Minangkabau yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta menjadikan falsafah ABS-SBK sebagai pedoman hidup utama yang terinternalisasi dalam setiap aspek kehidupan mereka. Bagi mereka, ABS-SBK bukan sekadar slogan atau warisan budaya, melainkan prinsip hidup yang menuntun perilaku sosial, spiritual, dan moral. Mahasiswa pada masa itu menunjukkan komitmen kuat untuk mempertahankan nilai-nilai adat dan agama melalui partisipasi aktif dalam kegiatan seperti pengajian, diskusi budaya, serta organisasi kemahasiswaan berbasis adat dan keislaman. Mereka membawa identitas Minangkabau sebagai suatu kebanggaan dan berupaya mempertahankannya di tengah arus modernisasi yang mulai muncul. Falsafah ini menjadi benteng identitas budaya dan religius yang memperkuat solidaritas sesama perantau, serta menjadi acuan moral dalam menghadapi tantangan kehidupan kota yang semakin kompleks.

Sebaliknya, mahasiswa Minangkabau pada era 2020-an menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam menyikapi falsafah ABS-SBK. Meskipun sebagian dari mereka masih menganggap nilai-nilai tersebut penting, ABS-SBK tidak lagi berfungsi sebagai pedoman utama atau mutlak dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah realitas kota besar yang multikultural dan cepat berubah, mahasiswa cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial baru yang lebih sekuler dan individualistik. Nilai-nilai adat dan agama hanya dipegang sejauh dianggap relevan atau tidak bertentangan dengan gaya hidup modern. Mahasiswa lebih selektif dalam mengadopsi aspek-aspek tertentu dari ABS-SBK, seperti tata krama dalam berbahasa dan sikap adaptif dalam bergaul, namun tidak lagi menganggap keseluruhan falsafah itu sebagai kerangka berpikir utama. Mereka lebih pragmatis, bahkan tidak segan meninggalkan sebagian nilai adat yang dianggap tidak cocok dengan kehidupan kampus dan dinamika perkotaan.

Transformasi ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, media sosial, serta tekanan gaya hidup kota yang kompetitif dan cepat berubah. Dalam konteks ini, komunitas perantau yang dulunya berperan penting sebagai penjaga nilai ABS-SBK, kini lebih berfungsi sebagai wadah adaptasi sosial daripada benteng pelestarian budaya. Perubahan ini mencerminkan dinamika identitas sosial yang dijelaskan dalam teori identitas sosial Henri Tajfel, di mana mahasiswa membandingkan dan menyesuaikan nilai kelompok asal (Minangkabau) dengan nilai kelompok baru (lingkungan kota), sehingga terbentuk identitas hibrida yang lebih fleksibel. Akibatnya, falsafah ABS-SBK yang dahulu menjadi modal utama mahasiswa perantau Minang telah bergeser menjadi nilai pilihan, yang hanya dipertahankan jika sejalan dengan konteks kehidupan modern mereka. Bila tidak diimbangi dengan upaya revitalisasi budaya secara sadar dan sistematis, nilai-nilai luhur ABS-SBK dikhawatirkan akan semakin memudar dan tergeser oleh budaya global yang lebih dominan di kalangan generasi muda Minangkabau.

Pudarnya ABS-SBK dalam Perspektif Sosiologi Kebudayaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun