Mohon tunggu...
Nabil Hisyam
Nabil Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Program Studi Sosiologi Fakulatas Ilmu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Kampung Menjadi Kota: Pudarnya "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" Pada Mahasiswa UNJ

29 Juni 2025   05:11 Diperbarui: 29 Juni 2025   05:11 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap semakin memudarnya nilai-nilai budaya dan religius yang menjadi identitas masyarakat Minangkabau, khususnya dalam konteks mahasiswa rantau yang menempuh pendidikan di lingkungan perkotaan seperti Jakarta. Prinsip atau falsafah hidup yang dikenal luas dalam masyarakat Minangkabau, yakni "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (adat bersendi pada agama, agama bersendi pada kitab Allah), bukan sekadar semboyan, melainkan sistem nilai yang telah membentuk struktur sosial, etika, dan moral komunitas Minangkabau selama berabad-abad. Namun, dalam praktik kehidupan mahasiswa perantauan di kota besar, nilai ini mengalami tantangan yang signifikan.

Fenomena ini menjadi semakin relevan untuk dikaji dalam perspektif kebudayaan dalam Sosiologi, karena menunjukkan bagaimana proses urbanisasi dalam kajian sosiologi kebudayaan dapat memengaruhi struktur sosial, pola pikir, dan cara hidup individu. Artikel ini ditulis sebagai bentuk refleksi sosiologis atas perubahan nilai dan gaya hidup yang dialami oleh mahasiswa Minangkabau ketika mereka berhadapan dengan budaya baru, tuntutan akademik, serta tekanan modernisasi di lingkungan kota.

Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki fondasi filosofis yang kokoh dalam menyeimbangkan tatanan adat dan ajaran agama Islam, yang terangkum dalam falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Falsafah ini secara historis menjadi pemandu moral, sosial, dan kultural bagi individu dan komunitas. Namun, gelombang globalisasi dan modernisasi yang tak terhindarkan mendorong terjadinya pergeseran demografis signifikan, salah satunya adalah migrasi para pemuda Minang dari kampung halaman (ranah) ke pusat-pusat metropolitan seperti Jakarta untuk menempuh pendidikan tinggi. Perpindahan ini bukan sekadar transisi geografis, melainkan sebuah lompatan sosiologis dari lingkungan yang homogen ke dalam realitas urban, individualistis, dan kental dengan nilai-nilai global. Fenomena inilah yang menjadi titik berangkat analisis artikel ini.

Oleh karena itu, artikel ini mengajukan tesis bahwa proses transisi dari lingkungan sosial di Minangkabau ke lingkungan urban-metropolitan Jakarta menciptakan sebuah tegangan nilai bagi mahasiswa Minang di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tegangan ini mengakibatkan terjadinya negosiasi ulang identitas, di mana falsafah ABS-SBK yang semula menjadi fondasi utama, kini mengalami proses adaptasi dan pergeseran makna demi beradaptasi dengan tuntutan individualisme, rasionalitas akademis, dan pluralisme budaya yang dominan di lingkungan perkotaan.

Artikel ini akan menjabarkan tesis tersebut dengan mengurai bagaimana interaksi sosial di kampus, paparan media digital, dan tekanan untuk mandiri secara personal menjadi arena pertarungan antara nilai-nilai tradisi yang diwariskan dengan modernitas yang dijalani. Pilihan-pilihan yang dibuat oleh para mahasiswa ini pada akhirnya merefleksikan sebuah perubahan sosial yang lebih luas mengenai bagaimana sebuah identitas etno-religius beradaptasi atau mungkin terkikis di tengah gempuran globalisasi.

Penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga artikel ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi diskursus sosiologi mengenai globalisasi, identitas, dan perubahan sosial di Indonesia.

Angka Perantau Minangkabau

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia

Fenomena merantau telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Berdasarkan data yang ditampilkan, jumlah perantau asal Sumatera Barat yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia bahkan mencapai angka yang sangat mencolok, yaitu:

  • Pada tahun 1980 sebesar 558.804 Penduduk
  • Pada tahun 1990 sebesar 642.908 Penduduk
  • Pada tahun 2000 sebesar 937.799 Penduduk
  • Pada tahun 2010 sebesar 1.151.433 Penduduk
  • Pada tahun 2015 sebesar 1.148.930 Penduduk

Tercatat di dalam kategori persentase tahun yang berbeda beda dalam data yang sudah ada, Meskipun tidak dijelaskan secara lebih jelas dalam pengambilan data-data mengenai kategori wilayah pengambilan data, namun angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau tergolong menjadi salah satu data tertinggi yang terdapat   di Indonesia.

Tradisi merantau dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya sekadar fenomena ekonomi, melainkan juga merupakan bagian dari sistem nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam perspektif sosiologi, merantau merupakan bentuk dari proses mobilitas sosial horizontal maupun vertikal, yang seringkali dikaitkan dengan upaya mencari peluang kerja, pendidikan, maupun aktualisasi diri di wilayah-wilayah yang lebih menjanjikan dari segi ekonomi dan akses sosial. Jumlah perantau Minangkabau yang mencapai lebih dari satu juta orang menunjukkan bahwa merantau bukan lagi sekadar pilihan pribadi, tetapi sudah menjadi kebiasaan turun temurun  dalam budaya Minangkabau.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia

Selain menunjukkan angka absolut jumlah perantau Minangkabau, data terbaru juga memperlihatkan adanya penurunan populasi yang signifikan di Sumatera Barat, dengan angka minus sebesar -580.990 jiwa. Angka ini sudah jelas mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan besar merujuk pada data perpindahan penduduk Sumatera Barat mengalami kekurangan populasi yang cukup besar akibat adanya migrasi penduduk keluar daerah. Pada saat yang sama, terlihat juga angka 85,660 ribu jiwa yang diinterpretasikan sebagai pertumbuhan atau populasi yang menetap. Ketimpangan ini menegaskan bahwa fenomena merantau bukan hanya tradisi budaya, tetapi telah membentuk struktur demografi yang unik di daerah asal Minangkabau.

Data ini mencerminkan realitas bahwa masyarakat Minangkabau memiliki tingkat migrasi keluar yang sangat tinggi. Penurunan populasi sebesar lebih dari setengah juta jiwa bukan sekadar gejala demografis biasa, melainkan menunjuk pada sistem nilai yang telah mengakar dalam masyarakat, di mana merantau dianggap sebagai salah satu jalan hidup yang sah bahkan diharapkan. Proses ini bukan hanya dipicu oleh alasan ekonomi, tetapi juga oleh tuntutan sosial dan budaya untuk "berhasil" di tanah rantau sebagai bentuk pencapaian status sosial. Dalam masyarakat Minangkabau, laki-laki yang tidak merantau seringkali dipandang kurang berinisiatif atau belum dewasa secara sosial.

Lebih Dekat dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)

Falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) merupakan prinsip hidup masyarakat Minangkabau yang menyatukan adat dan agama Islam dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Falsafah ini menegaskan bahwa adat bersendikan syarak (agama), dan syarak bersendikan Kitabullah (Al-Qur'an), sehingga seluruh aspek kehidupan masyarakat Minangkabau harus selaras dengan ajaran Islam. Konsep ini secara resmi dideklarasikan melalui Piagam Bukit Marapalam pada awal abad ke-19 oleh para pemuka adat dan ulama Minangkabau.

Dalam praktiknya, ABS-SBK menjadi landasan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau, termasuk dalam hukum adat, sistem sosial, dan nilai-nilai budaya. Adat Minangkabau yang bersifat matrilineal tetap mengakomodasi nilai-nilai Islam, seperti dalam pembagian warisan dan peran laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, ABS-SBK mencerminkan harmonisasi antara tradisi lokal dan ajaran agama Islam.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi, nilai-nilai ABS-SBK mengalami tantangan, terutama di kalangan generasi muda. Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang berasal dari Minangkabau, misalnya, menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai adat dan menyesuaikan diri dengan budaya urban yang lebih sekuler. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan identitas budaya di kalangan mahasiswa tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmah Fajria dan Azmi Fitrisia dalam jurnal "Tinjauan Literatur Falsafah Adat Minangkabau: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" mengungkapkan bahwa ABS-SBK merupakan falsafah hidup yang menekankan pentingnya keselarasan antara adat dan agama Islam dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Namun, implementasi nilai-nilai ini menghadapi tantangan di era modern, terutama di kalangan generasi muda yang terpapar oleh budaya global dan nilai-nilai sekuler.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan upaya revitalisasi nilai-nilai ABS-SBK melalui pendidikan dan pembinaan karakter. Integrasi nilai-nilai ABS-SBK ke dalam kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah dasar, seperti yang diusulkan oleh Albert dalam jurnal "Gagasan Integrasi Nilai-Nilai Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABS SBK) Kedalam Pelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Kurikulum Sekolah Dasar", dapat menjadi langkah awal dalam menanamkan nilai-nilai tersebut sejak dini,

Selain itu, peran keluarga dan komunitas adat juga sangat penting dalam mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai ABS-SBK kepada generasi muda. Melalui kegiatan-kegiatan budaya, seperti upacara adat, ceramah agama, dan pelatihan kepemimpinan berbasis nilai-nilai ABS-SBK, generasi muda dapat lebih memahami dan menginternalisasi falsafah hidup ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks mahasiswa UNJ yang berasal dari Minangkabau, penting untuk menciptakan ruang-ruang diskusi dan komunitas yang mendukung pemahaman dan praktik nilai-nilai ABS-SBK. Kegiatan seperti diskusi budaya, seminar, dan pelatihan kepemimpinan berbasis nilai-nilai ABS-SBK dapat membantu mahasiswa dalam mengintegrasikan identitas budaya mereka dengan kehidupan kampus yang multikultural.

Dengan demikian, upaya pelestarian dan revitalisasi nilai-nilai ABS-SBK tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat Minangkabau di kampung halaman, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama, termasuk di lingkungan perguruan tinggi seperti UNJ. Melalui kolaborasi antara institusi pendidikan, keluarga, dan komunitas adat, nilai-nilai ABS-SBK dapat terus hidup dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Falsafah yang Menjadi Modal Utama Perantau Minang: Mahasiswa Minang di UNJ Era 1980-an

Pada era 1980-an, mahasiswa Minangkabau yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta membawa serta falsafah hidup "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan di perantauan. Falsafah ini menekankan bahwa adat istiadat harus berlandaskan syariat Islam, dan syariat Islam harus berlandaskan Al-Qur'an, menciptakan harmoni antara nilai adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau.

Tradisi merantau bagi masyarakat Minangkabau bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah proses pematangan diri yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual. Mahasiswa perantau Minang pada masa itu dikenal memiliki komitmen kuat dalam menjaga identitas budaya mereka. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial yang mencerminkan nilai-nilai ABS-SBK, seperti pengajian, diskusi budaya, dan organisasi kemahasiswaan yang berorientasi pada pelestarian adat dan agama. Salah seorang alumni mahasiswa rantau Minang tahun 1980-an bernama Agusnirwan mengatakan:

"Bagi kami yang merantau, falsafah hidup Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah landasan utama. Itu bukan hanya slogan, tapi benar-benar menjadi pedoman dalam bersikap dan bertindak. Kami percaya adat harus sejalan dengan syariat Islam, dan syariat itu sendiri bersumber dari Al-Qur'an. Di mana pun kami berada, falsafah itu tetap kami pegang".

Salah satu tokoh penting yang menyoroti peran mahasiswa perantau Minang dalam menjaga nilai-nilai budaya adalah Dr. Mochtar Naim. Beliau mengingatkan bahwa ABS-SBK tidak hanya sebatas konsep teoritis, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di kampung halaman maupun di perantauan. Pesan ini menjadi pengingat bagi generasi muda Minangkabau untuk terus mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Namun, seiring dengan dinamika kehidupan kota dan pengaruh budaya luar, tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai ABS-SBK semakin besar. Mahasiswa Minang di perantauan menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dan menyesuaikan diri dengan budaya urban yang lebih sekuler. Hal ini sering kali menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan identitas budaya di kalangan generasi muda Minangkabau.

Meskipun demikian, banyak komunitas perantau Minang yang berusaha mempertahankan dan mengajarkan nilai-nilai ABS-SBK kepada generasi muda melalui berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Upaya ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan, falsafah ABS-SBK tetap menjadi modal utama bagi perantau Minang dalam menjaga jati diri dan integritas budaya mereka di tengah arus modernisasi.

Mahasiswa Minangkabau yang merantau ke kota besar seperti Jakarta tetap mempertahankan falsafah hidup ABS-SBK karena merasa itu bagian penting dari jati diri mereka. Dalam teori identitas sosial, seseorang akan merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu jika ia memiliki kesamaan nilai dan budaya dengan kelompok tersebut. Mahasiswa Minang merasa bangga menjadi bagian dari budaya Minangkabau yang berpadu dengan ajaran Islam. Mereka menunjukkan identitas ini lewat kegiatan seperti pengajian, diskusi budaya, dan organisasi mahasiswa yang menjaga adat dan agama sebagai bentuk penguatan identitas sosial mereka.

Namun, hidup di kota besar membuat mereka menghadapi tantangan baru. Budaya kota yang lebih bebas dan modern sering kali bertentangan dengan nilai-nilai ABS-SBK yang mereka anut. Ini bisa membuat mereka bingung: apakah harus tetap memegang nilai lama atau menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dalam teori identitas sosial, kondisi ini disebut konflik identitas. Untuk mengatasi hal ini, komunitas perantau Minang menjadi sangat penting karena memberikan rasa aman dan dukungan moral. Komunitas ini membantu mahasiswa tetap percaya diri dengan identitas budaya dan agamanya meskipun berada di lingkungan yang berbeda.

Bukan Lagi Menjadi Modal Utama Perantau Minang: Mahasiswa Minang UNJ di Era 2020-an

Falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (ABS-SBK) selama ini menjadi pilar utama dalam membentuk identitas masyarakat Minangkabau, khususnya para perantau. Namun, dalam konteks tahun 2020-an, mahasiswa Minang yang menempuh pendidikan tinggi di kota-kota besar seperti Jakarta, termasuk di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai tersebut.

Penelitian Muhamad Rizki Fatwa Falah menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa perantau Minang masih menjadikan ABS-SBK sebagai pedoman etika dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam menjaga sopan santun, bertanggung jawab, dan menjalin hubungan sosial yang harmonis. Namun demikian, nilai ini tidak lagi menjadi landasan utama yang secara otomatis diinternalisasi oleh setiap perantau. Salah seorang mahasiswa rantau Minang di UNJ tahun 2020-an bernama Refi Febrian mengungkapkan persepsinya tentang ABS-SBK:

"Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah ini adalah suatu hal yang bisa mengatur hidup gue, dengan adanya tata cara bertutur bahasa yang namanya Kato Nan Ampek yang mengajarkan kami sebagai kaum minangkabau untuk bertutur bahasa ke orang yang lebih tua, teman sebaya, sampai orang yang lebih muda".

Sebagian mahasiswa menunjukkan kecenderungan adaptif terhadap lingkungan urban yang multikultural. Interaksi dengan budaya populer, arus globalisasi, serta tekanan gaya hidup modern kerap kali mendorong mereka untuk merelatifkan bahkan meninggalkan sebagian nilai tradisional Minangkabau. Dalam kondisi ini, ABS-SBK tidak selalu menjadi kerangka berpikir utama dalam mengambil keputusan, baik secara moral maupun sosial."...Dari adat ini juga gue ngejalanin petatah petitih Minang yaitu "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" yang ngajarin kami tentang bersosial dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar"

Penelitian lain oleh Azura, dkk., mengungkapkan bahwa perantau muda Minang mengalami proses transformasi identitas budaya. Mereka tidak lagi membawa serta ABS-SBK sebagai identitas yang utuh, tetapi memilih menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman dan lingkungan baru mereka. Transformasi ini dinilai sebagai strategi adaptif, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan pemudaran nilai-nilai lokal jika tidak diimbangi dengan revitalisasi budaya secara sadar.

Oleh karena itu, di tengah realitas kota yang serba cepat dan kompetitif, ABS-SBK bukan lagi menjadi modal utama bagi mahasiswa perantau Minang. Ia telah bergeser dari nilai absolut menjadi nilai pilihan yang hanya dipertahankan jika dianggap relevan dan sesuai dengan konteks kehidupan baru mereka.Refi mengungkapkan beberapa hal terkait perubahan yang ia alami sebagai seorang mahasiswa rantau Minang:

"Ya gue waktu pertama kali masuk kuliah sempat mengalami yang namanya culture shock, di adat Minang kita diajarkan untuk bersosialisasi dan beradaptasi, dengan pedoman petatah petitih minang yang bunyi nya "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" yang berarti kita harus beradaptasi dengan lingkungan dimana kita hidup, jadi yaa beberapa adat ada yang harus dihilangkan karena kurang cocok dipakai di kehidupan kampus".

Dalam perspektif sosiologi, perubahan cara mahasiswa Minang melihat dan menjalani falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bisa dijelaskan lewat teori identitas sosial dari Henri Tajfel. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang membentuk identitas dirinya berdasarkan kelompok sosial tempat ia berasal, seperti suku atau agama. Mahasiswa Minang yang merantau ke kota besar seperti Jakarta dulunya menjadikan ABS-SBK sebagai pedoman hidup karena mencerminkan budaya dan agama mereka. Namun, saat berada di lingkungan yang lebih beragam dan modern, mereka mulai membandingkan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang berlaku di kota. Proses ini mendorong mereka untuk menyesuaikan diri agar diterima dalam lingkungan sosial baru yang berbeda dari kampung halaman.

Selain itu, banyak mahasiswa Minang mulai membentuk identitas baru yang lebih fleksibel dan menyesuaikan diri dengan gaya hidup kota. Mereka memilih nilai-nilai budaya yang masih relevan, dan meninggalkan yang dirasa tidak cocok dengan kehidupan sehari-hari di perantauan. Hal ini menunjukkan bahwa identitas sosial bersifat dinamis dan bisa berubah sesuai dengan situasi. Jika tidak ada usaha untuk memperkenalkan kembali dan menyesuaikan ABS-SBK dengan kehidupan modern, maka nilai-nilai budaya Minangkabau ini bisa perlahan ditinggalkan oleh generasi muda.

Terbentuknya Identitas Baru: Perbandingan dan Perubahan

Secara sosiologis, perubahan sosial didefinisikan sebagai transformasi dalam struktur dan fungsi masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, norma, pola perilaku, dan hubungan sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat. Perubahan ini merupakan gejala universal yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat sebagai akibat dari interaksi dan adaptasi terhadap faktor-faktor internal, seperti penemuan baru dan konflik, maupun faktor eksternal. Proses ini dapat mengarah pada kemajuan ataupun kemunduran, serta mencakup modifikasi pada aspek kultural baik yang bersifat material maupun immaterial, yang pada akhirnya membentuk tatanan sosial yang baru.

Pada era 1980-an, mahasiswa Minangkabau yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta menjadikan falsafah ABS-SBK sebagai pedoman hidup utama yang terinternalisasi dalam setiap aspek kehidupan mereka. Bagi mereka, ABS-SBK bukan sekadar slogan atau warisan budaya, melainkan prinsip hidup yang menuntun perilaku sosial, spiritual, dan moral. Mahasiswa pada masa itu menunjukkan komitmen kuat untuk mempertahankan nilai-nilai adat dan agama melalui partisipasi aktif dalam kegiatan seperti pengajian, diskusi budaya, serta organisasi kemahasiswaan berbasis adat dan keislaman. Mereka membawa identitas Minangkabau sebagai suatu kebanggaan dan berupaya mempertahankannya di tengah arus modernisasi yang mulai muncul. Falsafah ini menjadi benteng identitas budaya dan religius yang memperkuat solidaritas sesama perantau, serta menjadi acuan moral dalam menghadapi tantangan kehidupan kota yang semakin kompleks.

Sebaliknya, mahasiswa Minangkabau pada era 2020-an menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam menyikapi falsafah ABS-SBK. Meskipun sebagian dari mereka masih menganggap nilai-nilai tersebut penting, ABS-SBK tidak lagi berfungsi sebagai pedoman utama atau mutlak dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah realitas kota besar yang multikultural dan cepat berubah, mahasiswa cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial baru yang lebih sekuler dan individualistik. Nilai-nilai adat dan agama hanya dipegang sejauh dianggap relevan atau tidak bertentangan dengan gaya hidup modern. Mahasiswa lebih selektif dalam mengadopsi aspek-aspek tertentu dari ABS-SBK, seperti tata krama dalam berbahasa dan sikap adaptif dalam bergaul, namun tidak lagi menganggap keseluruhan falsafah itu sebagai kerangka berpikir utama. Mereka lebih pragmatis, bahkan tidak segan meninggalkan sebagian nilai adat yang dianggap tidak cocok dengan kehidupan kampus dan dinamika perkotaan.

Transformasi ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi, media sosial, serta tekanan gaya hidup kota yang kompetitif dan cepat berubah. Dalam konteks ini, komunitas perantau yang dulunya berperan penting sebagai penjaga nilai ABS-SBK, kini lebih berfungsi sebagai wadah adaptasi sosial daripada benteng pelestarian budaya. Perubahan ini mencerminkan dinamika identitas sosial yang dijelaskan dalam teori identitas sosial Henri Tajfel, di mana mahasiswa membandingkan dan menyesuaikan nilai kelompok asal (Minangkabau) dengan nilai kelompok baru (lingkungan kota), sehingga terbentuk identitas hibrida yang lebih fleksibel. Akibatnya, falsafah ABS-SBK yang dahulu menjadi modal utama mahasiswa perantau Minang telah bergeser menjadi nilai pilihan, yang hanya dipertahankan jika sejalan dengan konteks kehidupan modern mereka. Bila tidak diimbangi dengan upaya revitalisasi budaya secara sadar dan sistematis, nilai-nilai luhur ABS-SBK dikhawatirkan akan semakin memudar dan tergeser oleh budaya global yang lebih dominan di kalangan generasi muda Minangkabau.

Pudarnya ABS-SBK dalam Perspektif Sosiologi Kebudayaan

Dari perspektif sosiologi kebudayaan, pudarnya nilai ABS-SBK pada mahasiswa Minang di UNJ mencerminkan terjadinya pergeseran budaya (cultural shift) akibat interaksi intensif antara budaya lokal dan budaya dominan dalam masyarakat urban. Melalui proses ini, nilai-nilai yang sebelumnya dianggap sakral dan menjadi penuntun hidup dalam budaya asal mulai dipertanyakan atau bahkan digantikan oleh nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan konteks kehidupan modern. Menurut Koentjaraningrat, budaya terdiri dari sistem nilai, norma, dan artefak yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam konteks ini, mahasiswa Minang yang berada di perantauan tidak hanya mengalami perubahan geografis, tetapi juga berada dalam arena pertarungan nilai budaya antara tradisi yang dibawa dari kampung halaman dan norma-norma kehidupan kota yang individualistis dan sekuler.

Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui konsep cultural lag yang dikemukakan oleh William F. Ogburn, yaitu ketertinggalan unsur budaya tertentu dalam menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang cepat. ABS-SBK sebagai warisan budaya non-material tampak kesulitan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap dinamika kehidupan modern mahasiswa di kota besar seperti Jakarta. Ketika mahasiswa Minang dihadapkan pada gaya hidup kampus yang menekankan pada rasionalitas, kebebasan individu, dan mobilitas sosial, nilai-nilai ABS-SBK yang berbasis kolektivisme dan religiositas menjadi kurang terpakai. Akibatnya, nilai tersebut tidak sepenuhnya hilang, melainkan bergeser dari posisi sentral ke posisi periferal dalam struktur nilai individu mahasiswa.

Selain itu, perspektif Pierre Bourdieu mengenai habitus dan arena (field) juga dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam. Habitus mahasiswa Minang yang awalnya dibentuk oleh budaya ABS-SBK di kampung halaman mulai mengalami benturan ketika mereka memasuki arena baru, yaitu lingkungan kampus urban yang memiliki aturan dan logika sosial yang berbeda. Dalam arena ini, kapital budaya seperti kemampuan adaptasi, gaya komunikasi, dan fleksibilitas identitas menjadi lebih dihargai daripada ketaatan terhadap norma adat dan agama. Proses ini secara tidak langsung mendorong mahasiswa untuk menyesuaikan habitus mereka agar dapat bertahan dan diakui di lingkungan sosial yang baru. Dalam jangka panjang, perubahan habitus ini dapat menyebabkan pemudaran internalisasi nilai ABS-SBK, yang jika tidak dibarengi dengan upaya revitalisasi budaya, berisiko mengakibatkan terputusnya transmisi budaya antargenerasi.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran fundamental dalam pemaknaan dan penerapan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di kalangan mahasiswa perantau Minangkabau di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) antara era 1980-an dan 2020-an. Pada era 1980-an, ABS-SBK berfungsi sebagai modal utama dan pedoman hidup yang terinternalisasi kuat, menjadi benteng identitas budaya dan religius di tengah lingkungan baru. Sebaliknya, pada era 2020-an, falsafah ini tidak lagi menjadi landasan utama yang absolut. Mahasiswa kini cenderung lebih adaptif dan selektif, memegang nilai-nilai yang dianggap relevan dengan kehidupan urban yang sekuler dan individualistis, bahkan meninggalkan sebagian adat yang dinilai tidak sesuai dengan dinamika kampus. Perubahan ini menandakan adanya sebuah negosiasi ulang identitas, di mana ABS-SBK bergeser dari sebuah nilai absolut menjadi nilai pilihan.

Dari perspektif sosiologi kebudayaan, fenomena ini mencerminkan terjadinya pergeseran budaya (cultural shift) dan pembentukan identitas hibrida sebagai respons terhadap interaksi intensif dengan budaya urban yang dominan. Konsep seperti konflik identitas dan adaptasi habitus menjelaskan bagaimana mahasiswa menyesuaikan diri agar diterima di lingkungan sosial yang baru, yang pada gilirannya menggeser posisi ABS-SBK dari sentral menjadi periferal dalam struktur nilai mereka. Transformasi ini pada akhirnya merefleksikan tantangan yang lebih luas mengenai bagaimana sebuah identitas etno-religius beradaptasi di tengah arus globalisasi. Tanpa adanya upaya revitalisasi yang sadar dan sistematis melalui pendidikan dan peran komunitas, dikhawatirkan nilai-nilai luhur ABS-SBK akan terus terkikis dan kehilangan relevansinya bagi generasi muda Minangkabau di masa mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun