Mohon tunggu...
Nabil Hisyam
Nabil Hisyam Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Program Studi Sosiologi Fakulatas Ilmu Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Kampung Menjadi Kota: Pudarnya "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" Pada Mahasiswa UNJ

29 Juni 2025   05:11 Diperbarui: 29 Juni 2025   05:11 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Dari perspektif sosiologi kebudayaan, pudarnya nilai ABS-SBK pada mahasiswa Minang di UNJ mencerminkan terjadinya pergeseran budaya (cultural shift) akibat interaksi intensif antara budaya lokal dan budaya dominan dalam masyarakat urban. Melalui proses ini, nilai-nilai yang sebelumnya dianggap sakral dan menjadi penuntun hidup dalam budaya asal mulai dipertanyakan atau bahkan digantikan oleh nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan konteks kehidupan modern. Menurut Koentjaraningrat, budaya terdiri dari sistem nilai, norma, dan artefak yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam konteks ini, mahasiswa Minang yang berada di perantauan tidak hanya mengalami perubahan geografis, tetapi juga berada dalam arena pertarungan nilai budaya antara tradisi yang dibawa dari kampung halaman dan norma-norma kehidupan kota yang individualistis dan sekuler.

Fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui konsep cultural lag yang dikemukakan oleh William F. Ogburn, yaitu ketertinggalan unsur budaya tertentu dalam menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang cepat. ABS-SBK sebagai warisan budaya non-material tampak kesulitan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap dinamika kehidupan modern mahasiswa di kota besar seperti Jakarta. Ketika mahasiswa Minang dihadapkan pada gaya hidup kampus yang menekankan pada rasionalitas, kebebasan individu, dan mobilitas sosial, nilai-nilai ABS-SBK yang berbasis kolektivisme dan religiositas menjadi kurang terpakai. Akibatnya, nilai tersebut tidak sepenuhnya hilang, melainkan bergeser dari posisi sentral ke posisi periferal dalam struktur nilai individu mahasiswa.

Selain itu, perspektif Pierre Bourdieu mengenai habitus dan arena (field) juga dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam. Habitus mahasiswa Minang yang awalnya dibentuk oleh budaya ABS-SBK di kampung halaman mulai mengalami benturan ketika mereka memasuki arena baru, yaitu lingkungan kampus urban yang memiliki aturan dan logika sosial yang berbeda. Dalam arena ini, kapital budaya seperti kemampuan adaptasi, gaya komunikasi, dan fleksibilitas identitas menjadi lebih dihargai daripada ketaatan terhadap norma adat dan agama. Proses ini secara tidak langsung mendorong mahasiswa untuk menyesuaikan habitus mereka agar dapat bertahan dan diakui di lingkungan sosial yang baru. Dalam jangka panjang, perubahan habitus ini dapat menyebabkan pemudaran internalisasi nilai ABS-SBK, yang jika tidak dibarengi dengan upaya revitalisasi budaya, berisiko mengakibatkan terputusnya transmisi budaya antargenerasi.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran fundamental dalam pemaknaan dan penerapan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) di kalangan mahasiswa perantau Minangkabau di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) antara era 1980-an dan 2020-an. Pada era 1980-an, ABS-SBK berfungsi sebagai modal utama dan pedoman hidup yang terinternalisasi kuat, menjadi benteng identitas budaya dan religius di tengah lingkungan baru. Sebaliknya, pada era 2020-an, falsafah ini tidak lagi menjadi landasan utama yang absolut. Mahasiswa kini cenderung lebih adaptif dan selektif, memegang nilai-nilai yang dianggap relevan dengan kehidupan urban yang sekuler dan individualistis, bahkan meninggalkan sebagian adat yang dinilai tidak sesuai dengan dinamika kampus. Perubahan ini menandakan adanya sebuah negosiasi ulang identitas, di mana ABS-SBK bergeser dari sebuah nilai absolut menjadi nilai pilihan.

Dari perspektif sosiologi kebudayaan, fenomena ini mencerminkan terjadinya pergeseran budaya (cultural shift) dan pembentukan identitas hibrida sebagai respons terhadap interaksi intensif dengan budaya urban yang dominan. Konsep seperti konflik identitas dan adaptasi habitus menjelaskan bagaimana mahasiswa menyesuaikan diri agar diterima di lingkungan sosial yang baru, yang pada gilirannya menggeser posisi ABS-SBK dari sentral menjadi periferal dalam struktur nilai mereka. Transformasi ini pada akhirnya merefleksikan tantangan yang lebih luas mengenai bagaimana sebuah identitas etno-religius beradaptasi di tengah arus globalisasi. Tanpa adanya upaya revitalisasi yang sadar dan sistematis melalui pendidikan dan peran komunitas, dikhawatirkan nilai-nilai luhur ABS-SBK akan terus terkikis dan kehilangan relevansinya bagi generasi muda Minangkabau di masa mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun