Arin sudah mengatakn jika laki-laki yang terus mengejark tak pernah sekalipun di hiraukannya. Namun saya yang sudah kepalang emosi langsung mengatakan hal itu.
Saat saya telpon, nada bicara Arin masih sama, sepertinya ia masih kesal terdengar dari jawaban yang saya tanyakan.Â
"Irwan, sudah berapa lama kita kenal?" tanya Arin saat telpon.
"Sudah berapa kali kita menyelesaikan sebuah permasalahan?"
"Lalu, kemana sikap sabar dan kepercayaan yang telah diberikan?"
"Aku lelah jika terus seperti ini, terus menerus diurigai. Jaga baik-baik dirimu juga kesehatanmu,"
"Terimakasih karena sudah satu tahun menjaga dan memberikan kenangan,"Â
"Maaf karena telah membuatmu kesal juga khawatir. Irwan, aku memilih mundur,"
"Semoga kelak kamu memdapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku,"
Arin segera menutup telponnya. Saya yang sedang berada di Jakarta saat itu juga segera membeli tiket dan pulang menuju Yogyakarta.Â
Pagi harinya saya datangi rumah Arin dan langsung memeluknya. "Arin, maafkan saya, betapa bodohnya saya," saya peluk erat Arin yang hendak berangkat mengajar. Dengan uraian air mata saya tak ingin melepaskannya. Tak henti-hentinya saya mengucapkan kalimat itu.