Mohon tunggu...
Nabilalr
Nabilalr Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Pembelajar Omnivora. Menulis sebagai tanda pernah 'ada', pernah 'merasa', dan pernah disebuah 'titik'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Ujung Jalan Itu, Aku Berbelok, Sementara Kamu Tidak

28 Mei 2018   13:48 Diperbarui: 28 Mei 2018   13:57 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengerjapkan mata berkali kali. Kali ini bukan karena terpana seperti biasanya. Namun Karena ada air mata yang harus ku tahan agar tidak tumpah di hadapan orang yang salah.

Tempat ini remang. Dengan pencahayaan yang sengaja kurang. Kursi kursi sengaja dibiarkan berjauhan barangkali untuk memberikan privasi yang lebih kepada pelanggannya. Seperti kami, entah untuk yang keberapa kali kunjungan kami ke tempat ini. Namun yang sekali ini, kupastikan hanya perlu sekali dan tidak akan terulang kembali.

Ia masih menunduk, aku pun sama. Lagu akustik yang menjadi backsong kafe ini nampak semakin melankolis ditelinga dan hatiku. Lirih, perih, namun romantis. Sengaja memberi jarak dan waktu pada kami untuk berpikir lebih dalam. Menziarahi masa lalu sejenak sebelum kembali melanjutkan hidup dengan bahagia. Meski tanya masih terus bergantung. Adakah memang ini yang seharusnya terjadi?

Aku teringat sebentar akan kenangan yang menyelinap. Sore itu gelap. Namun hujan tak kunjung jatuh. Aku masih di lobby kantor menunggu ojek online yang sudah sepuluh menit ku tunggu. Agak was was takut hujan jatuh sebelum ojek itu datang. Dan tepat pada saat itu, aku melihatmu yang tergesa menuruni tangga. Sekilas namun tidak terlupa. Tidak saling menatap namun tetap layak terkenang sebagai yang pertama. Dalam hati aku hanya sanggup membathin, 'kenapa kamu tergesa dan kenapa aku mau tahu?'

Aku pun mengekori langkahmu yang dengan cepat menjauh dari jangkauan pandanganku. Entah kemana. Sampai aku tak sadar jika ojek yang ku pesan sudah tepat d depan kantor.

Satu hal yang kusuka, kamu nyaris tak percaya jika sore yang gelap itu aku melihatmu lebih dulu. Katamu, 'bagaimana mungkin ak melewatkan mu begitu saja?' aku hanya menggeleng pelan tidak tahu. Toh aku dan kamu pun tidak pernah tertarik untuk ingin tau mau kemana kamu sore itu.

Kebersamaan ini singkat. Belum bisa dibilang lama. Meski lama atau sebentar itu sangat amat bergantung dengan relatifitas. Ketika manusia suka dan menikmati, maka waktu akan berlalu dengan cepat. Begitu sebaliknya. Waktu akan terasa lambat atau bahkan berhenti berputar ketika manusia tidak menginginkan realitas yang ada.

Dan entah ada di posisi mana aku saat ini?

I do know kalo suatu hari ini akan terjadi. Maka sebetulnya aku tak perlu terlalu terkejut seperti sekarang. Tenang. Mental itu sudah kupupuk jauh jauh hari. Tepat pada hari ketujuh usai aku tau namamu. Bukan karena apa apa. Aku hanya merasa harus siap atas apapun meski hati tak akan pernah siap akan sebuah perpisahan.

Dan betul kah ini perpisahan? Kamu tidak kemana mana. Pun aku yang juga tidak kemana mana. Lalu jika ini perpisahan, perpisahan dari sebuah apa? Tentu, aku dan kamu tidak sedang menjalin hubungan spesial apapun. Tidak ada ikatan yang mewajibkanmu perlu untuk menjaga perasaanku.

"Maaf, Ta" ucapmu lirih sekali lagi. Dan tenang saja. Air mata yang sempat tergenang itu cukup tau diri untuk tidak jatuh dihadapanmu. Dari dulu sudah ku wanti wanti diriku sendiri. Jangan pernah menangis dihadapan laki laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun