Indonesia bukan sekadar peta yang diselimuti lautan dan ribuan pulau. Ia adalah melodi dari beragam bahasa, aroma rempah yang menembus batas waktu, dan wajah ramah yang menyapa dari Sabang sampai Merauke. Dalam setiap dialek, tersimpan cerita; dalam setiap tempat wisata, terselip bahasa yang hidup di dada penduduknya. Indonesia, sejatinya, adalah negeri yang berbicara dengan seribu suara dan setiap suara itu memanggil wisatawan dengan caranya sendiri.
Ketika menjejak tanah Minangkabau, misalnya, suara ibu-ibu di pasar memanggil dengan penuh semangat, "Apo ka cari, uni? Lado, karupuak, atau baju batik?"
(Apa yang dicari, kakak? Cabai, kerupuk, atau baju batik?)
Ucapan sederhana itu bukan sekadar tawaran dagangan, melainkan bentuk sambutan hangat khas Sumatera Barat. Bahasa daerah di sana bukan penghalang, melainkan jembatan: ia memperkenalkan kita pada adat, pada tawa yang jujur, pada kehidupan yang membumi.
Di Bali, para wisatawan asing sering terpesona bukan hanya karena pantainya, melainkan karena satu kata yang terdengar begitu sakral: Om Swastyastu --- salam yang bermakna "semoga selamat dan sejahtera". Ucapan ini menggambarkan kedamaian yang lahir dari budaya dan bahasa. Di setiap pura, bahasa Bali berdiri sejajar dengan doa, menghadirkan ketenangan yang membuat siapa pun merasa diterima.
Bahasa daerah dan bahasa asing hidup berdampingan di tanah pariwisata Indonesia. Di Yogyakarta, turis asing tak hanya mendengar Bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Jawa halus yang lembut dan bersahaja. "Monggo, pinarak sekedhap," kata seorang ibu di depan rumah batiknya.
(Silakan, mampir sebentar.)
Kalimat sederhana itu telah membuka banyak hati. Di sanalah wisata bukan hanya tentang tempat, melainkan tentang rasa diterima dan dihargai.
Bahasa dan pariwisata adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah identitas yang memikat wisatawan untuk memahami makna di balik keindahan. Saat wisatawan datang ke Raja Ampat, mereka tak hanya memotret laut biru, tetapi juga mendengar irama bahasa lokal Biak dan Papua yang mengalun di pasar. Di situlah wisata menjadi pengalaman yang hidup---bukan sekadar perjalanan mata, tetapi perjalanan hati.
Sebagai negara multibahasa, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Namun, yang lebih menakjubkan adalah bagaimana bahasa-bahasa itu justru memperkuat pariwisata, bukan memecahnya. Di Toraja, misalnya, pemandu wisata sering kali menjelaskan makna ritual dalam dua atau tiga bahasa sekaligus---bahasa Indonesia untuk wisatawan domestik, bahasa Inggris untuk turis mancanegara, dan bahasa Toraja untuk sesepuh yang hadir dalam upacara adat. Keberagaman ini bukan beban; ia adalah kebanggaan.
"Bahasa adalah wajah bangsa," kata seorang guru di desa Sade, Lombok, saat aku berkunjung beberapa bulan lalu. Ia menjelaskan bahwa para pemandu muda di sana kini mempelajari tiga bahasa: Bahasa Sasak, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.