Mohon tunggu...
Nabila Bunga
Nabila Bunga Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S-1 Kesehatan Masyarakat di Universitas Diponegoro Semarang dan mempunyai ketertarikan dengan bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Chronex: Senandika di Masa Depan

24 Juli 2025   21:45 Diperbarui: 27 Juli 2025   21:44 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Chronex: Senandika di Masa Depan

Oleh Nabila Bunga Safira

Baskara mulai tenggelam perlahan di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang membias di kaca jendela kamar. Senja selalu menjadi hal paling menarik, dan bagi Dipta Janardana---mahasiswa teknik komputer, berusia dua puluh tahun---akan selalu begitu. Hidup di tahun 2025 dengan kisah monoton sudah menjadi hal biasa bagi Dipta. Dari fajar hingga senja, dari terang hingga larut, hari-
harinya ia penuhi dengan menatap layar komputer yang kian malam kian benderang, menampilkan game dengan tajuk 'Valorant'. Tidak, jangan bayangkan Dipta adalah seorang anti sosial dan selalu mengurung diri di kamar. Justru teman-temannya menyebar di berbagai penjuru Jakarta. Dipta bukan tidak suka bersosialisasi, hanya saja menurutnya dunia luar terlalu bising untuk ia jalani.

Suatu ketika, Dipta membuka website AI dengan memberi command 'tutorial coding' untuk proyek perkuliahannya. Tak usah heran tugas perkuliahan sekarang semakin mudah dikerjakan karena banyak cara untuk mempelajarinya di peramban. Di tengah-tengah aktivitasnya, netranya menatap iklan berupa website bertuliskan 'Chronex'. Dipta mengernyitkan dahinya, "Apa ini?" bisiknya pelan. Mulanya Dipta hendak mengabaikannya, karena iklan pun memang sering kali muncul tiba-tiba saat kita menjelajah di peramban, bukan? Namun, entah dorongan dari mana, tangan kanannya seolah tergerak untuk meng-klik mouse yang mengarah ke website tersebut. 

Dipta membuka mata, badannya lemas, kepalanya pening. Ia berada di tengah kamar tidurnya yang gelap. "Apa yang baru terjadi kepadaku?" batinnya sembari mengusap kepala pelan, dan baru ia sadari ternyata semua yang terjadi barusan hanyalah bunga tidur belaka. Dipta melirik ke layar komputernya yang masih terbuka dan menyala terang. Ia hendak bangun, tetapi mengurungkan niatnya
karena dirasa kepalanya cukup berat. Dengan sayup-sayup mata dan pusingnya kepala, ponsel di tangan kirinya ia buka. Sekian detik kemudian, berakhir Dipta yang melemparkan ponsel miliknya hingga jatuh di bawah kasur. Matanya membelalak, seolah tak mempercayai apa yang ia baru lihat barusan. "Dua puluh... Mei... Dua ribu... tiga puluh lima?!" sebutnya terbata-bata mencoba memastikan waktu yang tertera pada ponselnya. Dipta tak ambil pusing, ia berpikir siapa tahu pengaturan ponselnya saja yang bermasalah.

Dipta bergegas keluar kamar, memutari penjuru rumah, mencari kedua sosok orang tuanya. Tak lama kemudian netranya menangkap sosok yang sejak tadi ia cari. "Ibu!" ucapnya sedikit berteriak, yang dibalas dengan suara batuk dari sosok yang tak lain adalah ibunya. Matanya sedikit membelalak, tak menyangka ibunya terduduk di kursi roda. Pasalnya, selama hidupnya, ibu yang ia kenal adalah sosok yang selalu menyanjung-nyanjung kesehatan, jadi sangat mustahil ibu terduduk di kursi roda seperti saat ini. Satu lagi. Dipta merasa ibunya terlihat lebih tua, dibuktikan keriput yang kian tampak jelas di wajahnya, tetapi tetap terlihat cantik. "Mungkin perasaanku saja.." batin Dipta yang lagi-lagi tak ambil pusing. "Bapak mana, Bu?" tanya Dipta sembari mengambil sepotong roti di atas meja makan. Ibunya menatap Dipta heran, dengan suara lirih dan terbatuk ia berkata, "Ngomong apa kamu, Dip. Bapak Uhuk uhuk! sudah tidak ada lima tahun yang lalu." Dipta menghentikan kunyahannya, perasaannya campur aduk, netranya lagi-lagi mencari sesuatu, dan yang terpikir olehnya hanyalah satu, Kalender! Netranya mengarah ke kalender yang terpasang di samping lemari es---yang menurut Dipta semakin canggih dengan lima pintu. Di sana, di lembar itu, benar menunjukkan bahwa sekarang adalah tahun 2035.

Dipta terbaring kasur, melipat satu tangan ke belakang kepala, memandang langit-langit kamarnya. Setelah beberapa hari menjalani hidup dengan perasaan penuh denial, Dipta perlahan mulai menerima bahwa sekarang usianya... 30 tahun. Kemarin, Dipta bertanya banyak kepada ibunya, dan memang banyak perubahan terjadi. Dari bapak yang meninggal 5 tahun lalu, ibu yang mulai jatuh sakit setelah bapak meninggal, adik Dipta---Daneendya---melangkahinya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan lebih dulu bersama kekasihnya, hingga teman-teman Dipta yang sudah memiliki anak kedua dan ketiga. Dipta mengusap wajahnya kasar, percaya tak percaya, ini berarti gambaran kehidupannya 10 tahun kemudian. Tanpa keluarga kecil seperti teman-temannya, monoton, bahkan tidak sukses menjadi CEO seperti angan-angannya selama ini.

Dipta beranjak, ia tegerak untuk duduk, tetapi tak seperti aktivitasnya dahulu, yakni tanpa menyalakan komputer. Dipta hanya duduk, merenggangkan punggungnya ke kursi gamer miliknya sembari melamun memandangi layar hitam komputer. Netranya melirik laci kecil di meja dan penuh rasa penasaran ia menarik laci tersebut. Pasalnya, selama 20 tahun hidupnya Dipta memang tidak pernah menggunakan laci itu. Dipta lagi-lagi mengernyitkan dahinya seolah bingung, terlihat banyak kertas berserakan di laci itu. Dipta tergerak mengambil secarik kertas yang menarik netranya. Tak disangka, secarik kertas itu berasal dari tahun 2025---terlihat dari tahun yang dibubuhkan penulisnya---dan tulisan tangan itu meminta Dipta berubah demi kebaikan masa depan. Penulis dari kertas itu adalah Bapak Dipta. Bapak Dipta menuliskan bahwa ia didiagnosis kanker stadium tiga, dan ia sudah berulang kali berusaha mencari waktu berbicara dengan Dipta, tetapi nihil, Dipta selalu sibuk dengan komputernya setiap waktu. Tanpa sadar bulir air mata Dipta membasahi kertas di tangannya. Sekarang semuanya terlambat.

Lama-kelamaan, Dipta terbiasa hidup di tahun 2035 yang semuanya serba canggih. Internet of Things sudah sangat digalakkan, padahal dulu di bangku perkuliahan IoT sering kali dibahas hanya untuk rancangan semata. Jelas terlihat perbedaannya dengan sepuluh tahun yang lalu. Jangan harap dengan canggihnya masa depan Dipta akan merasa bahagia. Dipta tetaplah Dipta, yang selama di sini masih merasa putus asa. Namun, di pandangan orang-orang masa depan, Dipta layaknya manusia lainnya, yang tak ada masalah di dalam dirinya. Hidupnya saat ini bak kalimat "bukan langkahnya yang berat, tetapi kenangan yang dibawa bersamanya".

Blub! Blub! Suara air laut yang dilempari batu berkali-kali. Ya, Dipta memutuskan untuk pergi ke pantai, berpikir dengan cara ini setidaknya ia bisa menenangkan diri. Sekarang Dipta merasa hidupnya bagai perjalanan tanpa peta, terus berjalan meskipun arahnya tak jelas. Kadang kala memang tempat ini menjadi tempat pelariannya untuk melihat senja dahulu, dan sudah satu minggu ini Dipta merutuki nasib masa depannya. "Mengapa masa depanku suram seperti ini?!" batinnya terus-menerus. Dalam diam, pikirannya melanglang buana ke dunia yang tak bisa disentuh siapapun. Dipta tak tahan, rasanya ingin mengakhiri hidup saja bila harus hidup di masa depan seperti ini.

Hari ke dua belas, terhitung sudah ia tinggal di masa depan suram ini. Lagi-lagi Dipta masih kesana kemari mencari ketenangan. Angin bak mengelus kulitnya. Tak lagi di pantai, saat ini Dipta berdiri di loteng apartemen kosong. Pandangannya tertuju dari satu titik ke titik yang lain, memandangi gedung-gedung ibukota yang semakin canggih, tetapi suasananya dingin. Bukan. Bukan dingin karena cuacanya, tapi karena Dipta yang masih menyimpan banyak tanda tanya dalam benaknya. Dipta tak mengerti jati dirinya, seolah ia terjebak di tubuh manusia 30 tahun dengan jiwa anak 20 tahun yang seharusnya masih duduk di bangku perkuliahan. Segala cara sudah ia kerahkan, tetapi hasilnya tetap nihil. Namun, jika Dipta diam saja, itu artinya ia akan terus terjebak di masa depan suram yang tak pernah ia inginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun