Di Inggris, kelas pekerja bukan hanya entitas ekonomi, tapi juga kekuatan budaya. Mereka bukan hanya tulang punggung revolusi industri, tapi juga pembentuk identitas kolektif di kota-kota besar seperti Manchester. Dalam konteks ini, buruh bukan sekadar pekerja pabrik atau operator mesin, melainkan aktor sosial yang membentuk ekosistem kehidupan kota -- termasuk dunia sepak bola.
Manchester dikenal sebagai pusat industri tekstil pada abad ke-18 dan 19. Ribuan buruh bekerja dalam kondisi keras jam kerja panjang, upah minim, dan lingkungan kerja yang tidak manusiawi. Di tengah tekanan hidup seperti ini, hiburan menjadi kebutuhan psikologis. Bagi banyak buruh, sepak bola bukan sekadar tontonan akhir pekan; ia menjadi bentuk pelarian, solidaritas, bahkan ekspresi politik.
Manchester United, yang awalnya didirikan oleh para buruh kereta api sebagai Newton Heath LYR FC pada 1878, adalah salah satu contoh nyata bagaimana klub sepak bola tumbuh dari komunitas buruh. Klub ini lahir dari semangat kolektif pekerja yang mencari ruang bersama, bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk menciptakan rasa memiliki di tengah kota industri yang keras dan penuh persaingan.
Tribun stadion menjadi tempat di mana para buruh bisa berteriak tanpa takut ditekan majikan. Di sana, identitas kelas tidak disembunyikan justru dirayakan. Dengan syal merah dan nyanyian lantang, mereka menegaskan keberadaan mereka sebagai bagian dari kota ini. Bahkan, banyak chant legendaris Manchester United tumbuh dari lelucon, kritik, dan kebanggaan khas kelas pekerja.
Namun ketika industri mulai berubah dan kapitalisme sepak bola mengambil alih, posisi buruh sebagai pemilik simbolik klub mulai terpinggirkan. Klub yang dulu didirikan oleh buruh, kini dimiliki oleh investor asing. Harga tiket naik drastis, dan stadion tidak lagi penuh dengan buruh lokal, melainkan turis atau penonton kelas menengah ke atas. Para buruh yang dulu memenuhi Stretford End kini harus puas menonton dari televisi---atau bahkan sama sekali tak mampu lagi mengaksesnya.
Kondisi ini mencerminkan ketimpangan yang lebih luas: ketika ruang-ruang budaya kelas pekerja dikuasai oleh modal besar. Dalam kasus Manchester United, hal ini memicu gerakan tandingan seperti berdirinya F.C. United of Manchester klub milik fans yang dijalankan secara kolektif oleh komunitas, tanpa pemilik tunggal, tanpa korporasi. Ini adalah bentuk protes politik kultural kelas pekerja terhadap sistem yang meminggirkan mereka.
Ironisnya, banyak buruh modern di Manchester kini bekerja dalam kondisi serupa atau bahkan lebih eksploitatif dibanding masa lalu tapi tidak lagi memiliki simbol kolektif yang menyatukan mereka seperti dulu. Pabrik-pabrik tekstil telah digantikan oleh gudang logistik Amazon atau pusat data, namun polanya sama: kerja keras, upah rendah, dan keterasingan. Bedanya, kini sepak bola tidak lagi bisa sepenuhnya menjadi ruang ekspresi, karena ia pun telah menjadi bagian dari sistem kapital global.
Meski begitu, memori tentang hubungan antara buruh dan sepak bola tetap hidup---dalam cerita, dalam chant, dalam sejarah klub. Bagi banyak buruh tua di Manchester, Manchester United adalah cermin hidup mereka. Klub itu tumbuh bersama mereka, menderita bersama mereka, dan dibentuk oleh keringat mereka. Meskipun hari ini mereka terpinggirkan dari kursi stadion, identitas mereka tetap melekat kuat dalam warna merah yang menyelimuti kota.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI