Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Administrasi - Antropolog

Ethnograpy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendidikan Era 4.0; Tantangan, Harapan dan Peluang terhadap Pendidikan dan Kebudayaan Nasional

8 April 2019   11:12 Diperbarui: 1 Juli 2021   09:42 16687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Era 4.0; Tantangan, Harapan dan Peluang terhadap Pendidikan dan Kebudayaan Nasional

Pendidikan sebagai proses transformasi budaya merupakan kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Pendidikan merupakan proses pemanusiaan untuk menjadikan manusia memiliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, dan manusia seutuhnya agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh dan mengembangkan budaya. 

Kebudayaan dan pendidikan memiliki hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan.

Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi segala tantangan kehidupan yang berubah-ubah dan semakin berat. 

Selain itu pendidikan memberikan jawaban dan solusi atas penciptaan budaya yang didasari oleh kebutuhan masyarakat sesuai dengan tata nilai dan sistem yang berlaku di dalamnya. 

Pendidikan sebagai transformasi budaya dapat dikatakan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta didik untuk hari esok dan mentransformasikan nilai budaya sehingga dapat membentuk karakter.

Baca juga: Konsep Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan Era Revolusi 4.0

Pendidikan tanpa nilai-nilai budaya bagaikan bertepuk sebelah tangan. Pendidikan tanpa orientasi nilai-nilai adalah omong kosong yang mustahil. Karena itulah, tak berlebihan apabila Ary H. Gunawan mendefinisikan pendidikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Gunawan, 2000). 

Tindakan atau proses sosialisasi tanpa adanya 'bahan' yang akan disosialisasikan adalah mustahil. Dalam hal ini, nilai-nilai budaya dalam pengertiannya yang luas harus ada dalam proses pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya.

Di samping itu, nilai penting pendidikan berbasis budaya adalah dapat diibaratkan sebagai tameng dan senjata bagi individu yang hidup di jaman informasi dan teknologi ini. 

Dengan pendidikan berbasis budaya ini, individu maupun masyarakat dapat mengenal identitas budaya sendiri, sehingga selanjutnya dapat memetakan antara hal-hal baru yang boleh diterima dan harus ditolak. 

Filterisasi kebudayaan semacam ini akan membantu pengembangan kebudayaan ke depan. Pengembangan kebudayaan harus melalui beberapa tahapan, mulai tahap kesadaran jati diri, filterisasi kebudayaan asing, dan asimilasi maupun akulturasi. 

Tahapan-tahapan seperti ini mencerminkan proses pembentukan kebudayaan yang berkarakterkan "mempertahankan budaya lama yang masih baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik." Pengembangan kebudayaan harus didukung oleh individu-individu yang mau mengembangkannya (Tilaar, 2007).

Pendidikan berbasis nilai-nilai budaya ini tidak berangkat dari ruang kosong. Perjalanan sejarah kebudayaan Bugis-Makassar menjadi saksi bisu betapa masyarakat telah menjalani, menghayati, dan mempraktekkan sistem pendidikan berbasis budaya lokal. 

Wujud konkret produk pendidikan berbasis budaya lokal ini dapat dilihat pada kesenian lokal, tradisi, dan adat-istiadat yang masih dipertahankan dari generasi ke generasi. 

Proses tranmisi dari generasi ke generasi ini sehingga nilai-nilai budaya tetap bertahan dalam rentangan waktu yang panjang adalah praktek pendidikan yang paling substantif. 

Karena, kata Jean Peaget, individu akan terus berkembang dari sejak lahir dan terus berkembang, dan pada saat yang sama dunia pendidikan bertanggungjawab mendorongnya ke nilai-nilai budaya (nilai sosial, intelektual, moral).

Informasi yang tidak berbatas (borderless information) dalam situasi yang seperti ini terjadilah proses lintas budaya (trans cultural) serta silang budaya (cross cultural) yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lainnya. 

Pertemuan nilai-nilai budaya, atau disebut kontak budaya (cultural contact), dapat menghasilkan dua kemungkinan; pertama, pertemuan tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut dengan asimilasi (assimilation), serta kedua, pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut akulturasi (acculturalization).

Baca juga: Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 di Tengah Covid-19

Di dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi itu bukan sesuatu yang menakutkan namun justru membuka peluang untuk menciptakan kemajuan kebudayaan yang positif; meski globalisasi itu sendiri tidak bebas dari unsur-unsur negatif. Untuk mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki pedoman yang disebut "Teori Trikon", yang terdiri dari tiga komponen sbb: Kontinuitas, melanjutkan budaya para "leluhur" bangsa yang mengandung nilai-nilai positif; Konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan Konsentrisitas, hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai-nilai) baru yang bermakna (Supriyoko, 2003:5).

Jika kita ingin  memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses acquiring melalui inquiring. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya.

Pendidikan Era Revolusi Industri

Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19. Revolusi industri ini pun sedang berjalan dari masa ke masa. 

Dekade terakhir ini sudah dapat disebut memasuki fase keempat 4.0. Perubahan fase ke fase memberi perbedaan artikulatif pada sisi kegunaaannya. Fase pertama (1.0) bertempuh pada penemuan mesin yang menitikberatkan (stressing) pada mekanisasi produksi.

 Fase kedua (2.0) sudah beranjak pada etape produksi massal yang terintegrasi dengan quality control dan standarisasi. Fase ketiga (3.0) memasuki tahapan keseragaman secara massal yang bertumpu pada integrasi komputerisasi. Fase keempat (4.0) telah menghadirkan digitalisasi dan otomatisasi perpaduan internet dengan manufaktur (Suwardana, 2017)

Era pendidikan 4.0 merupakan tantangan yang sangat bera dihadapi guru. Jack Ma (CEO Alibaba Group) dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018 menyatakan bahwa pendidikan adalah tantangan besar abad ini. 

Jika mengubah cara mendidik dan belajar-mengajar, maka 30 mendatang kita akan mengalami kesulitan besar. Era Revolusi Industri 4.0 membawa dampak yang tidak sederhana. Ia berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia. 

Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan. Era ini ditandai dengan semakin sentralnya peran teknologi cyber dalam kehidupan manusia. Maka tak heran jika dalam dunia pendidikan muncul istilah "Pendidikan 4.0".

Pendidikan 4.0 (Education 4.0) adalah istilah umum digunakan oleh para ahli pendidikan untuk menggambarkan berbagai cara untuk mngintegrasikan teknologi cyber baik secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. 

Ini adalah lompatan dari pendidikan 3.0 yang menurut Jeff Borden mencakup pertemuan ilmu saraf, psikologi kognitif, dan teknologi pendidikan. 

Pendidikan 4.0 adalah fenomena yang merespons kebutuhan munculnya revolusi industri keempat dimana manusia dan mesin diselaraskan untuk mendapatkan solusi, memecahkan masalah dan tentu saja menemukan kemungkinan inovasi baru.

Buah dari revolusi industri 4.0 adalah munculnya fenomena disruptive innovation. Dampak dari fenomena ini telah menjalar di segala bidang kehidupan. 

Mulai industri, ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Fenomena ini juga telah berhasil menggeser gaya hidup (life style) dan pola pikir (mindset) masyarakat dunia. Disruptive innovation secara sederhana dapat dimaknai sebagai fenomena terganggunya para pelaku industri lama (incumbent) oleh para pelaku industri baru akibat kemudahan teknologi informasi.

Lee et al (2013) menjelaskan, industri 4.0 ditandai dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: 1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; 2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; 3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; dan 4) perbaikan. instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing. Lifter dan Tschiener (2013) menambahkan, prinsip dasar industri 4.0 adalah penggabungan mesin, alur kerja, dan sistem, dengan menerapkan jaringan cerdas di sepanjang rantai dan proses produksi untuk mengendalikan satu sama lain secara mandiri.

Baca juga: Dilematis Pendidikan Era Revolusi 4.0 Menuju Era Revolusi 5.0

Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu instansi pendidikan dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Kesuksesan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 erat kaitannya dengan inovasi yang diciptakan oleh sumberdaya yang berkualitas, sehingga perguruan tinggi wajib dapat menjawab tantangan dalam mengahadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia keraj di era globalisasi. 

Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy, bidang pendidikan perlu merevisi kurikulum dengan menambahkan lima kompetensi peserta didik dalam memasuki era Revolusi 4.0 ini yaitu memiliki kemampuan berfikir kritis, memiliki kreatifitas dan kemampuan yang inovatif, memiliki kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, dapat bekerjasama dan berkolaborasi serta memiliki kepercayaan diri.

Selain itu agar lulusan pendidikan nantinya dapat berkompetitif maka kurikulum memerlukan orientasi baru tidak hanya cukup memahami orientasi lama (membaca, menulis, dan matematika) tetapi perlu mehami literasi indutri 4.0 yaitu literasi data dengan kemampuan untuk membaca, menganalisis dan menggunakan informasi dunia digital dengan cara memahami cara kerja mesin aplikasi teknologi. 

Pendidikan yang sarat dengan muatan pengetahuan mengesampingkan muatan sikap dan keterampilan sebagaimana saat ini implementasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak mempu berkompetensi dengan mesin oleh karena itu guru harus mengurangi dominasi pengetahuan pendidikan dan pembelajaran dengan harapan peserta didik mampu mengungguli kecerdasan mesin. 

Pendidikan yang diimbangi dengan karakter dan literasi menjadikan peserta didik sangat bijaksana dalam menggunakan mesin untuk kemaslahatan masyarakat.[1]

Pendidikan 4.0: Tantangan, Harapan dan Peluang

Revolusi industri 4.0, melalui pendidikan memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat kualitas hidup bagi masyarakat dunia, dan kompetitif, meningkatkan efisiensi dan produktifitas, menurunkan biaya transportasi dan komunikasi, meningkatkan efektifitas. Negara perlu menyikapi secara bijaksana bahwa baik teknologi maupun kendala yang menyertai adalah kekuatan eksigen di mana manusia tidak memiliki kendali atas hal tersebut, kita semua bertanggung jawab untuk membimbing evolusinya dalam keputusan yang kita buat setiap hari baik sebagai warga negara, konsumen, maupun investor. Negara juga harus mengembangkan pandangan komprehensif tentang bagaimana teknologi bermanfaat bagi kehidupan dan membentuk lingkungan ekonomi, sosial, budaya, karena pada akhirnya semua bermuara pada proses pendidikan.

Pendidikan di Indonesia harus mampu melakukan loncatan yang lebih maju dalam Revolusi Industri 4.0 ini, melalui pemanfaatan inplementasi teknologi digital dan komputasi ke dalam penggunaan proses pembelajaran. Namun demikian di saat yang sama indonesia perlu segera meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia, menjadi operator dan analisis handal sebagai pendorong Industri mencapai daya saing dan produktifitas tinggi.

Di samping itu Pendidikan era 4.0 peran ekosistem pendidikan sangat penting dalam membangun Pendidikan nasional peran keluarga, lingkungan atau komunitas. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan, dimana melakukan langkah-langkah penguatan tri pusat Pendidikan yakni keluarga, masyarakat dan sekolah atau lembaga Pendidikan agar terwujudnya sebuah ekosistem Pendidikan yang baik. Selain itu pula, nilai-nilai budaya menjadi kompetensi unggulan yang mengacu pada tatanan nilai dan memperkuat jati diri budaya bangsa.

Pendidikan Karakter: Nilai Budaya

Masyarakat harus sadar akan identitas dirinya melalui penghayatan dan pengamalan kebudayaan. Tanpa kesadaran jati diri, individu akan terombang-ambing dalam arus globalisasi yang dahsyat dengan gelombang informasinya yang tak terbendung. Pada titik inilah, upaya transformasi nilai-nilai kebudayaan menjadi niscaya, sehingga media pendidikan harus ditempatkan pada posisi yang prioritas. Tujuan utama dari pendidikan itu sendiri diarahkan supaya individu mampu memaknai dirinya, lingkungannya, dan masyarakatnya (L. Getuk, 2004). Kemampuan memberi makna adalah indikasi adanya kesadaran akan identitas diri. Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas generasi muda dalam berbagai aspek kehidupan dan dapat mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang relatif lama, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.

Rancangan kurikulum dan metode pendidikan pun harus dapat menyesuaikan dengan iklim bisnis yang terus berkembang, jasa pendidikan dan bisnis industry juga sangat cepat perkembangannya, dan semakin kompetitif yang harus mengikuti perkembangan teknologi dan informasi. Perubahan yang terjadi dalam era revolusi industri juga sangat berpengaruh pada karakter manusia, dunia kerja sehingga keterampilan yang diperlukan juga cepat berubah. Kurikulum adalah jantung pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya (Balitbang Kemendiknas, 2010:1)

Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu mengintegrasikan nilainilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan menentukan pendirian dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap dan berbuat. Ketiga proses tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.

 

Menurut Koesoema (2011: 193) pendidikan karakter di sekolah secara sederhana bisa didefinisikan sebagai, "pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutamaan (practice of virtue)". Oleh karena itu pendidikan di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana peserta didik memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata. Pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan merupakan lima konsep yang berbeda. Secara umum kelima konsep di atas sama-sama membantu peserta didik bertumbuh secara lebih matang dan kaya, baik sebagai individu maupun makhluk social dalam konteks kehidupan sesama. Yang membedakan kelima konsep di atas adalah materi dan isi pendidikannya.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialiasi dengan norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian, semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

 

Nilai-nilai budaya Sulawesi-Selatan

 

No.

Nilai Budaya

Sulawesi Selatan

Pengertian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Nilai Pendidikan

Karakter dan Budaya

1.

Siri'

Harga diri, harkat dan martabat,

kokoh pendirian.

Teguh pendirian.

2.

Pacce' atau pesse

Ikut merasa pedih dan perih,

solidaritas, kesetiakawanan.

Kesetiakawanan.

3.

Ripaci'da

Rasakan sendiri pelanggaranmu.

Tanggung jawab.

4.

Tantang atau

getteng atau

agettengeng

Teguh pada pendirian, tegas, konsisten, menepati janji.

Konsisten.

5.

Alempureng

Sifat-sifat kejujuran.

Jujur.

6.

Amaccang

Sifat-sifat kecendekiaan.

Gemar membaca, rasa ingin tahu,

cermat, dan teliti.

7.

Asitinajang

Sifat-sifat kepatutan.

Kepatutan dan kebijaksanaan.

8.

Reso

Usaha dan bekerja keras.

Kerja keras.

9.

Awaraningngeng

Sifat-sifat keperwiraan.

Cinta damai, cinta tanah air, dan

semangat kebangsaan.

10.

Asabbareng

Sifat-sifat kesabaran.

Sabar.

11.

Asugireng

Bersifat kekayaan (mampu).

Berkompetensi.

12.

Sipatuo

Saling menghidupi.

Peduli pada lingkungan alam dan

sosial, kesetiakawanan, bersahabat.

13.

Sipatokkong

Saling membangun.

Bersahabat, komunikatif,

kosmopolit.

14.

Rialena

Menjalin hubungan dengan dirinya.

Mawas diri, mandiri.

15.

Padanna ripancaji

Menjalin hubungan dengan

sesama makhluk

Peduli pada lingkungan alam dan

sosial.

16.

Risennurenna

Menjalin hubungan manusia dengan cita-citanya.

Berpikir masa depan, berpikir matang, dan kosmopolit.

17.

Ridewata

Menjalin hubungan manusia

dengan Tuhan Sang Pencipta.

Religius.

18.

Paccing

Bersih dan suci.

Religius, jujur, dan bijaksana.

19.

Makamaka atau

masagena

Kemampuan lahir dan batin.

Berkompetensi dan kerja keras.

20.

Mpukke

Membuka dan mengolah.

Kreatif dan inovatif.

21.

Madeceng

kininnawai

Baik budinya.

Bijaksana dan tanggung jawab.

22.

Matalaleng

Penunjuk jalan.

Tanggung jawab, pemrakarsa,

kreatif, dan komunikatif.

23.

Makkasuwiyang

Bertemu dan berbakti.

Menghargai prestasi dan

bersahabat.

 

Dalam jurnal Dimas Ario Sumilih "pendidikan antropologi: tantangan, harapan, dan Peluang menuju masyarakat ekonomi asean 2015".

 

Kesimpulan

 

Pendidikan dan kebudayaan nasional memerlukan dukungan kebudayaan nasional yang kondusif untuk itu. Untuk kepentingan tersebut diperlukan manusia-manusia bermutu sebagai hasil dari Pendidikan, memposisikan Pendidikan 4.0 sebagai tantangan, harapan dan peluang dimana harus mampu mempersiapkan diri dengan mengembangkan dan membangun potensi berupa penanaman nilai-nilai budaya lokal sebagai jati diri bangsa. Peran pendidikan sebagai transmisi kebudayaan harus mampu mencetak tenaga pendidikan yang melek akan pendidikan 4.0. instansi pendidikan dalam hal ini sekolah dan perguruan tinggi berperan penting dalam mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada pelajar dan mahasiswa. Tenaga pendidik dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi agar dapat menghadapi genereasi milenial yang mudah mengakses data digital.

 

Daftar Pustaka

 

Engkoswara. 1999. Instructional Strategy of Civic Education at Certain
            School Level.
Bandung: Center for Indonesian Civic Education

Gunawan. Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan: suatu analisis sosiologi tentang
            pelbagai problem pendidikan
. Jakarta: Rineka Cipta.

http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/menjadi-guru-era-pendidikan-40

Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Koesoema, Doni. 2011. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Grasindo.

L. Gutek, Gerald. 2004. Philosophical and Ideological Voices in Education. 
            Boston: Allyn & Beacon.

Lee, J., Lapira, E., Bagheri, B., Kao, H. 2013. Recent Advances and
            Trends in Predictive Manufacturing Systems in Big Data
            Environment. Manuf.
Lett. 1 (1), 38-41.

Liffler, M., & Tschiesner, A. 2013. The Internet of Things and the Future
            of Manufacturing
. McKinsey & Company.

Perez, Bertha, ed., 2004. Sociocultural Contexts of Language and Literacy London: Lawrence Erlbaum Associates,

Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Pengenbangan Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Balitbang Kemendiknas.

Supriyoko. 2003. Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Kebudayaan Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar: Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. RI.

Suwardana. Hendra. 2017. Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental. JATI UNIK, Vol.1, No.2. Hal. 102-110

Tilaar, H.A.R. 1991. Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Berdasarkan Pancasila. Jakarta: LIPI.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

 

 

[1] http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/menjadi-guru-era-pendidikan-40

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun