Mohon tunggu...
Lala_mynotetrip
Lala_mynotetrip Mohon Tunggu... Terus berupaya menjadi diri sendiri

Blogger pemula|menyukai petualangan sederhana|Suka bercerita lewat tulisan|S.kom |www.lalakitc.com|Web Administrator, Social Media Specialist, freelancer.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Teh Tubruk Aromatik Andalan di Rumah

11 Oktober 2025   16:24 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kandungan teh cap botol (Dokpri/mynotetrip)

Aroma teh tubruk sangat khas dalam indera penciuman. Sedari kecil, orang rumah lebih terbiasa ngeteh ketimbang ngopi. Salah satu yang suka ngeteh, Mama dan bapak. 

Bisa dibilang, Sukabumi (musim hujan) dan Kota Bogor memang masih memiliki udara dingin beberapa tahun kebelakang. Jadi, pagi hari sambil memasak akan lebih hangat ditemani secangkir atau segelas teh tubruk. Kadang teh manis hangat atau teh tawar hangat. 

Merek teh lokal yang cukup familiar dalam ingatan ya itu teh cap Botol dan teh cap Poci. Keduanya silih berganti ada di antara gula dan garam pada rak bumbu dapur. 

Iya, penyimpanan teh ini selain dibiarkan dalam kemasannya. Supaya makin terjaga disimpan dalam wadah bumbu yang agak besar. 

Aromanya sangat khas, aromatik menyegarkan. Apalagi yang teh hijau, spesialnya teh cap botol menambahkan bunga melati di dalam kemasan teh. Jadi makin enak dan harum keseluruhan aroma teh campur aroma bunga melati. 

Kandungan teh cap botol (Dokpri/mynotetrip)
Kandungan teh cap botol (Dokpri/mynotetrip)

Rupanya, bukan hanya di rumah saja yang menyediakan teh tubruk cap Botol. Di beberapa tempat makan (Warteg, warung nasi, penjual bakso, tukang mie ayam & tukang bubur) pun menggunakan teh yang satu ini. 

Teh tubruk ini tuh jadi pilihan karena rasanya khas, aromatik dan harganya terjangkau banget. Isinya pun banyak, bisa buat nyeduh teh berkali-kali. 

Ada yang rajin, tehnya diseduh pake air mendidih lalu disaring dan disimpan ke dalam termos ataupun teko besar. 

Ada juga yang dibiarkan tehnya tetap menyatu dengan air. Awalnya saya kerepotan kalau nyeruput teh yang masih banyak butiran dan ampasnya. Minum teh sambil memilah tangkai dan batang teh serta bunga melati. 

Lama-kelamaan yaudah, biasa aja dan terlatih buat nyortir. Agak besaran dikit makin rajin buat menyaring teh supaya saat minum lebih praktis. 

Merek teh lokal cap Botol ini termasuk legend banget. Di kemasan tertulis sejak 1940, puluhan tahun sebelum saya lahir ke dunia bahkan teh ini sudah ada. 

Setelah lebih dewasa, saya tertarik melihat tagline yang ada di kemasan teh cap botol. Sederhana namun ngena "Wanginya Sesedap Rasanya". Jadi memang sesuai fakta, wanginya sedap dan rasanya pun sepadan. 

Mau dibuat teh hangat tawar ataupun teh hangat manis, rasanya tetap oke. Kalau ditanya apakah sekarang masih suka ngeteh? Sesekali masih ngeteh dan memang suka stok satu pack atau dua pack teh cap botol di rumah. 

Biasanya beli di grosir atau pasar tradisional. Jangan sedih, di minimarket dan supermarket pun tersedia kok. Bahkan di marketplace juga ada. Intinya cari teh cap Botol masih cukup mudah. 

Mereka adalah salah satu bentuk usaha teh yang secara kemasan cukup konsisten dan bertahan dengan packaging dari kertas dan sederhana banget tampilannya. Tersedia beberapa ukuran, bisa disesuaikan. Ada teh tubruk hitam dan teh tubruk melati. 

Bahan yang digunakan dicantumkan secara jelas bahkan ada informasi persentasenya juga. Berdasarkan informasi dari bapak, dulu beliau pernah tinggal di area dataran tinggi dekat perkebunan teh. Para pemetik daun teh ini hidupnya jauh dari kata sejahtera. 

Saking penasarannya, saat kuliah saya pernah menjelajah area perkebunan teh di kawasan puncak Bogor dan melihat realita bagaimana para pemetik teh hidup. Iya, bener mereka secara ekonomi sangat memprihatinkan apalagi yang tidak punya lahan pertanian alias bergantung sepenuhnya pada pekerjaan memetik teh. 

Anak-anak mereka pun bersekolah harus menempuh jalan cukup jauh dan berjalan kaki. Tentu itu adalah kisah yang saya temui semasa kuliah sekitar tahun 2013-2017 an. Kalau sekarang-sekarang ini memang belum mampir ke area tersebut. 

Saat kuliah saya dan teman-teman mengumpulkan buku bacaan, pakaian layak pakai dan makanan untuk kami bagikan ke anak-anak pemetik teh. Rumah mereka masih panggung dan tidak banyak hanya sekitar 10-12 rumah saja. Saya lupa bertanya, apakah itu adalah rumah mereka sendiri atau di bangun di atas lahan pemilik kebun teh. 

Mengingat semua kenangan semasa kuliah itu, kembali menyadarkan saya. Gimana nasib pemetik teh di era sekarang? 

Saya berharap, para pemetik teh mengalami peningkatan kesejahteraan dan anak-anak mereka bisa bersekolah dengan layak. 

Rasanya dari secangkir atau segelas teh, kita merasakan kebahagiaan lewat aroma dan rasanya yang menenangkan. Maka saya berharap orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan teh ini berbahagia dan sejahtera. Sehingga teh yang aroma wangi dan rasanya enak, beneran kasih kemerataan keadilan dalam hal penghasilan dan kehidupan layak. 

Nah, kalau sobat kompasianer merek teh lokal favoritnya apa nih? Yuk spill di komentar. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun