Mohon tunggu...
Lala_mynotetrip
Lala_mynotetrip Mohon Tunggu... Terus berupaya menjadi diri sendiri

Blogger pemula|menyukai petualangan sederhana|Suka bercerita lewat tulisan|S.kom |www.lalakitc.com|Web Administrator, Social Media Specialist, freelancer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Teh Tubruk Aromatik Andalan di Rumah

11 Oktober 2025   16:24 Diperbarui: 11 Oktober 2025   16:29 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teh Cap Botol Andalan Keluarga di Rumah (Dokpri/mynotetrip)

Lama-kelamaan yaudah, biasa aja dan terlatih buat nyortir. Agak besaran dikir makin rajin buat menyaring teh supaya saat minum lebih praktis. 

Merek teh lokal cap Botol ini termasuk legend banget. Di kemasan tertulis sejak 1940, puluhan tahun sebelum saya lahir ke dunia bahkan teh ini sudah ada. 

Setelah lebih dewasa, saya tertarik melihat tagline yang ada di kemasan teh cap botol. Sederhana namun ngena "Wanginya Sesedap Rasanya". Jadi memang sesuai fakta, wanginya sedap dan rasanya pun sepadan. 

Mau dibuat teh hangat tawar ataupun teh hangat manis, rasanya tetap oke. Kalau ditanya apakah sekarang masih suka ngeteh? Sesekali masih ngeteh dan memang suka stok satu pack atau dua pack teh cap botol di rumah. 

Biasanya beli di grosir atau pasar tradisional. Jangan sedih, di minimarket dan supermarket pun tersedia kok. Bahkan di marketplace juga ada. Intinya cari teh cap Botol masih cukup mudah. 

Mereka adalah salah satu bentuk usaha teh yang secara kemasan cukup konsisten dan bertahan dengan packaging dari kertas dan sederhana banget tampilannya. Tersedia beberapa ukuran, bisa di sesuaikan. Ada teh tubruk hitam dan teh tubruk melati. 

Bahan yang digunakan dicantumkan secara jelas bahkan ada informasi persentase nya juga. Berdasarkan informasi dari bapak, dulu beliau pernah tinggal di area dataran tinggi dekat perkebunan teh. Para pemikir daun teh ini hidupnya jauh dari kata sejahtera. 

Saking penasarannya, saat kuliah saya pernah menjelajah area perkebunan teh di kawasan puncak Bogor dan melihat realita bagaimana para pemetik teh hidup. Iya, bener mereka secara ekonomi sangat memprihatinkan apalagi yang tidak punya lahan pertanian alias bergantung sepenuhnya pada pekerjaan memetik teh. 

Anak-anak mereka pun bersekolah harus menempuh jalan cukup jauh dan berjalan kaki. Tentu itu adalah kisah yang saya temui semasa kuliah sekitar tahun 2013-2017 an. Kalau sekarang-sekarang ini memang belum mampir ke area tersebut. 

Saat kuliah saya dan teman-teman mengumpulkan buku bacaan, pakaian layak pakai dan makanan untuk kami bagikan ke anak-anak pemetik teh. Rumah mereka masih panggung dan tidak banyak hanya sekitar 10-12 rumah saja. Saya lupa bertanya, apakah itu adalah rumah mereka sendiri atau di bangun di atas lahan pemilik kebun teh. 

Mengingat semua kenangan semasa kuliah itu, kembali menyadarkan saya. Gimana nasib pemetik teh di era sekarang? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun