Memiliki hewan peliharaan menjadi suatu hal yang cukup biasa bagi saya dan keluarga. Sedari kecil, saya dan kedua adik punya peliharaan: Kucing, kelinci dan ayam.Â
Tentu saja kami bertiga ketika masih kecil, tidak sepenuhnya merawat ketiga jenis peliharaan tersebut. Kebanyakan mama dan bapak lah yang merawat ketiga jenis hewan peliharaan tersebut.Â
Biasanya saya dan kedua adik, bergantian buat ngasih makan atau membersihkan area kandang. Hitung-hitung latihan bertanggung jawab secara kecil-kecilan kalau kata kedua orangtua.Â
Kembali ingat momen ketika kelinci yang kami pelihara beranak-pinak. Dari situ kami bisa menjual anak-anaknya. Berawal dari sekadar memelihara, ngajakin main, kasih makan dan bersihin kandang. Kok lama-lama jadi cuan.Â
Kalau kucing nggak ya. Meski ada anaknya nggak kami jual. Paling di kasihkan ke tetangga. Namun memang kucing yang kami pelihara seringnya kucing jantan jadi tidak hamil dan melahirkan.Â
Sempat berhenti memelihara kucing karena hewan lucu satu ini mati mengenaskan di racun oleh tetangga. Rupanya di tetangga sedang menyiapkan jebakan buat tikus dan apes omeng kucing kami malah memakan ikan jebakan, huhuhu. Padahal tak biasanya Omeng main makan sembarangan seperti itu. Selama kami merawat Omeng, tak pernah sekalipun Omeng mencuri makanan.Â
Dari situ saya dan kedua adik cukup terpukul. Kami trauma memelihara kucing, khawatir berakhir ditinggal mati.Â
Jadilah kami bertiga fokus memelihara kelinci dan ayam. Masing-masing dari kami, punya satu ayam betina yang menjelang bertelur. Kami rawat ketiga ayam tersebut sampai bertelur, menetas dan anak ayam tumbuh besar.
Ayam yang saya pelihara biasanya beranak banyak dan selalu tumbuh hingga mereka besar. Tentu sangat cuan sekali. Apalagi mendekati bulan ramadan dan lebaran. Banyak orang mencari ayam kampung buat di bakar atau di opor.Â
Tentu peliharaan ayam ini memang sering kami rawat dan sesekali diajakin ngobrol. Tapi terkait anak mereka yang besar dan bisa di jual tetap saja kami jual, jahat? Tega? Nggak juga kok lumrah sekali.Â