"Bu, bukannya kami sudah bilang supaya Siti diungsikan dari kampung ini?" sahut Pak Duloh tegas.
"Iya, kenapa dia masih berkeliaran sih di kampung ini," sahut Bu Sri istri dari Pak Duloh.
"Maaf Ibu, Bapak. Beri kami kesempatan lagi untuk bisa mencari tempat tinggal baru agar bisa pindah dari sini," imbuh Ibu harap.
"Ini sudah kesekian kalinya kami memberikan kesempatan pada Ibu dan Siti. Tapi Ibu masih saja membiarkan anak Ibu itu berkeliaran. Apa Ibu mau tanggung jawab, jika kami semua terkena dampak penyakit yang ditularkan dari anak Ibu tersebut," sahut Bu Ida.
Ibu terdiam sesaat, tak ada kata yang bisa ia lontarkan. Dari kejauhan, tampak Pak Ahmad memutar motornya, mengarah ke rumah Ibunya Siti. Sesampainya di halaman depan rumah Ibunya Siti, kening beliau langsung berkernyit hebat memandang sekelompok warga.
"Ada apa ini?" tanya Pak Ahmad, yang merupakan Kepala Dusun dari kampung Kembang Sari.
"Ndak Pak, cuma memberitahukan Bu Asih. Bisa-bisanya beliau membiarkan anaknya berkeliaran di kampung. Waktu lalu kami sudah memperingatkan agar dia tak boleh keluyuran. Kali ini hal itu diulang lagi sama Bu Asih." Jawab Pak Duloh.
"Apa salahnya? Siti juga warga kampung sini. Tak seharusnya kalian menghakimi seseorang dan mengharuskan dia bediam diri di rumah," tegas Pak Ahmad.
"Siti itu pembawa penyakit, Pak. Kami tidak mau, jika anak gadis kami berwajah buruk seperti dia karena terjangkit dari penyakit yang dideritanya." Ibu yang lain menyahut.
"Kami pun juga tidak mau, jika anak gadis kami tidak bisa menikah karena sang pria tiba-tiba kabur melihat wajah buruk dari anak-anak kami," sahut Ibu yang lain.
"Iya, iya, bener, Pak. Usir saja Bu Asih dan Siti dari kampung ini." Mereka semua berseru kompak.