Mohon tunggu...
Mutiatus Soleha
Mutiatus Soleha Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Hobi saya mendengarkan musik dan mencoba kuliner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Asap Sate: Kewirausahaan Komunitas Madura di Kota Semarang

3 Juni 2025   11:10 Diperbarui: 3 Juni 2025   11:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orang Madura terkenal suka merantau, sehingga banyak orang Madura yang merantau ke seluruh penjuru daerah untuk memperoleh pendapatan dengan cara berjualan sate, membuka warung sembako 24 jam, warung bubur kacang hijau, toko pangkas rambut, dan pengepul rongsokan barang bekas. Tidak heran jika di seluruh kota-kota besar banyak ditemui orang Madura yang berjualan sate. Sate Madura telah menjadi bagian dari kuliner jalanan yang berada di setiap daerah, khususnya Semarang. Di setiap sudut kota Semarang, aroma khas sate Madura menggoda siapa pun yang melintas. Tapi di balik asap yang mengepul dari arang panas, tersimpan kisah solidaritas etnis, strategi bertahan hidup, dan jaringan kewirausahaan yang tak tercatat dalam statistik formal.

"...Alhamdulillah langsung merantau ke Semarang, nunut-nunut budhe sek. Nunut budhe kene sek terus anu ning nggone budhe Mijen, terus lagi iso ngontrak ning nggone Pasar Ace..." Jelas  Sumiati pedagang sate pada 10 Mei 2025.

"...Alhamdulillah langsung merantau ke Semarang, menumpang di saudara dulu. Menumpang di saudara dekat sini dulu, kemudian ke rumah saudara yang berada di Mijen. Setelah itu baru bisa kontrak sendiri di dekat Pasar Ace..." Jelas Sumiati pedagang sate pada 10 Mei 2025.

Tidak semua pedagang sate Madura di Semarang berawal dari pengusaha yang mapan. Melainkan individu atau sepasang kekasih yang merantau ke kota orang dengan modal nekat, tekad, dan kepercayaan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Biasanya, hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka adalah datang ke rumah keluarga, yaitu saudara yang sudah lebih dulu membuka usaha di Semarang. Mereka mulai belajar berdagang dengan cara membantu kerabatnya, kemudian secara perlahan mampu membangun usaha sendiri. Mereka merintis usaha dengan modal upah dan pengalaman yang selama ini didapatkan dari kerabatnya, serta relasi yang dimiliki. Dalam mendirikan warung tentunya memerlukan gerobak dan lokasi yang strategis. Namun mendirikan warung tidak bisa sembarangan, terdapat itikad dimana mereka yang ingin mendirikan warung harus meminta izin serta solusi dari keluarga atau sesama perantau Madura di Semarang. Melalui jaringan relasi inilah mereka dapat mendirikan usaha berdagang sate Madura.

Tidak hanya melalui keluarga, para pedagang sate di Semarang memiliki komunitas yaitu paguyuban. Adanya paguyuban ini bertujuan untuk silaturahmi antar orang Madura yang berada di tanah rantau yaitu Kota Semarang. Selain itu, paguyuban merupakan wadah informasi, mediasi konflik, dan ruang berbagi strategi. Komunikasi yang terjalin antar anggota paguyuban terjalin melalui grup WhatsApp dan pertemuan bulanan. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas mengenai masalah yang sedang dihadapi anggota, seperti konflik dengan warga lokal atau berbagi informasi seputar Madura dan usaha dagang, serta mengatur jarak antar warung sate agar tidak saling memakan pasar. Hal ini dapat dikatakan sebagai "peta damai" yakni strategi bertahan hidup di lingkungan urban.

Sebagian besar pedagang sate Madura di Semarang masih mengandalkan hubungan langsung dengan pelanggan dan belum memanfaatkan media digital secara optimal. Namun terdapat pengecualian, dimana dalam Data dan Pemetaan UMKM menunjukkan bahwa "Sate Ayam Madura Bang Taji" telah mendaftarkan usahanya di platform online. Selain itu terdapat salah satu pedagang sate Madura yang  mulai mencoba promosi daring melalui Facebook. Umumnya pedagang sate Madura masih percaya pada kekuatan mulut ke mulut dan pengalaman pelanggan. Hal ini bukan berarti mereka tidak melek teknologi, akan tetapi lebih percaya pada sistem jual beli berbasis relasi langsung dan loyalitas rasa. Jaringan kewirausahaan pedagang sate Madura di Semarang mencerminkan konsep ekonomi etnis dan solidaritas komunitas dalam Sosiologi urban.


Relasi sosial dan kepercayaan antar anggota komunitas pedagang sate Madura di Semarang merupakan kekuatan yang menjadi modal sosial, atau yang biasa disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai social capital. Di tengah persaingan ketat di kota serta tekanan ekonomi yang memerlukan efisiensi, mereka justru memanfaatkan ikatan keluarga dan solidaritas etnis untuk saling mendukung. Modal tersebut berfungsi dalam jangka waktu yang panjang, selain mendapat dukungan awal saat merantau juga memperoleh bantuan mengenai informasi lokasi berjualan yang strategis, hingga penyelesaian konflik secara musyawarah dan damai tanpa melibatkan pihak berwenang. Paguyuban, dukungan dari sesama perantau, dan pembagian area berdagang bukan sekadar tradisi yang diwariskan, melainkan bagian dari sistem sosial yang terus diperbarui dan dipelihara bersama. Jaringan pedagang sate Madura di Semarang membangun ekonomi moral berdasarkan rasa hormat, musyawarah, dan keharmonisan. Di sinilah letak nilai ekonomi yang tidak hanya sekadar jual beli, tetapi juga hubungan sosial yang dinamis. Menjadikan ruang ekonomi alternatif yang tetap bertahan, meskipun tidak termasuk dalam rencana pembangunan kota yang resmi.


Dalam kota yang makin kompetitif, jaringan pedagang sate Madura menunjukkan bahwa solidaritas komunitas bisa menjadi fondasi ekonomi yang tahan banting. Di tengah gempuran digitalisasi dan makanan cepat saji, mereka bertahan dengan cara-cara tradisional yang penuh makna. Meskipun tidak semua pedagang sate Madura masih menggunakan cara tradisional. Sate Madura di Semarang bukan hanya kuliner. Ia adalah cerita tentang bagaimana etnis minoritas menciptakan ruang hidup, merawat solidaritas, dan membentuk peta sosial ekonomi di tanah rantau. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun