Oleh : Â Mutiara Putri Nadhia Maula
Mahasiswa Keperawatan, Universitas Airlangga
TikTok awalnya hanya dipandang sebagai aplikasi hiburan dengan video singkat, velocity, dan tren yang bervariasi. Namun, kini menjelma menjadi ekosistem ekonomi baru yang sangat memengaruhi kehidupan Gen Z. Tak jarang dijadikan sumber penghasilan yang memunculkan berbagai karier baru seperti pembisnis, influencer, reviewer, kreator edukasi, hingga reseller online.
Kita bisa melihat bagaimana sebuah produk kecil mendadak viral hanya karena direview oleh seorang influencer. Mulai dari donat, dessert box, kopi susu literan, skincare, jajanan kiloan, hingga aksesoris murah meriah, semuanya bisa laris manis hanya berbekal rekomendasi singkat bahkan dari orang biasa sekalipun yang videonya berhasil masuk FYP. Fenomena ini disebut sebagai ekonomi viral, di mana daya tarik suatu produk lebih banyak ditentukan oleh algoritma dan tren sesaat dibanding kualitas intrinsiknya.
Fenomena ini menghadirkan berbagai peluang. Banyak Gen Z yang berhasil memulai bisnis online berkat TikTok Shop, TikTok Affiliate, Endorsement, hingga Paid promotion. TikTok membuka pintu ekonomi kreatif baru yang lebih egaliter, siapa pun dapat berjualan, asalkan kontennya menarik dan FYP. Hal ini membuat Gen Z lebih percaya terhadap ekonomi digital di TikTok. Pemahaman algoritma kini menjadi kunci utama kesuksesan, menggantikan syarat modal besar seperti pada bisnis konvensional.
Di sisi ekonomi, Tiktok juga membuat pola persaingan yang ketat. Produk yang viral dapat laku keras dalam hitungan jam, tetapi begitu tren berganti, penjual bisa mengalami penurunan omzet. Kondisi ini membuat ekonomi digital di TikTok bersifat fluktuatif dan berisiko tinggi, sehingga Gen Z sebaiknya tidak hanya kreatif tetapi juga cerdas dalam strategi bisnis agar peluang ekonomi yang hadir lewat TikTok dapat benar-benar berkelanjutan.
Beberapa keuntungan memulai bisnis melalui TikTok adalah potensi pemasaran yang luas karena platform ini memiliki jutaan pengguna aktif yang memungkinkan pelaku usaha mempromosikan produk secara gratis melalui konten video maupun live streaming. Tidak hanya itu, pelaku bisnis dapat berinteraksi langsung dengan konsumen melalui komentar postingan maupun Live TikTok, sehingga membangun kedekatan dan kepercayaan. Keuntungan lain yang tak kalah penting adalah akses yang mudah dengan modal relatif rendah, karena memulai bisnis di TikTok tidak memerlukan biaya besar sebagaimana membuka usaha secara konvensional.
Namun, di sisi lain, standar hidup yang terbentuk justru mendorong budaya konsumsi berlebihan. Mulai dari munculnya Fear of Missing Out (FOMO) yang membuat Gen Z Â terdorong mengikuti tren hanya demi terlihat up to date. Akibatnya, banyak Gen Z terjebak dalam perilaku konsumtif. Barang-barang yang viral seakan wajib dimiliki Gen Z, meskipun tidak sesuai kebutuhan. Sehingga menjadi standar gaya hidup "estetik" yang menguras dompet Gen Z.
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, saya melihat fenomena ini sebagai cermin dari perubahan sosial-ekonomi yang begitu cepat. Peran mahasiswa tidak cukup hanya menjadi konsumen tren, tetapi juga harus hadir sebagai agen perubahan yang kritis. Penting bagi kita untuk memperkuat literasi digital agar tidak mudah terjebak algoritma, serta literasi finansial agar tidak larut dalam perilaku konsumtif. TikTok sebaiknya dimanfaatkan sebagai ruang kreativitas, peluang bisnis, serta sarana edukasi, dengan tetap menjaga keseimbangan kesehatan mental dan kondisi finansial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI