Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menembus Dimensi Kejayaan Musik Nusantara melalui Sound of Borobudur

16 Mei 2021   23:33 Diperbarui: 16 Mei 2021   23:41 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Di sudut-sudut dinding Borobudur itu ditemukan lebih dari 200 relief yang menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik mulai dari alat musik tiup, petik, pukul, hingga gesek yang pada saat ini masih bisa ditemukan di 34 provinsi di Indonesia bahkan dunia"

Membayangkan dimensi masa lalu

Membaca itu, ruang-ruang dalam pikiran saya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pandangan mulai berimajinasi, seolah tengah menyaksikan drama kolosal yang dibuat pada setting masa lampau layaknya drama sageuk—drama bernuansa sejarah atau kerajaan ala Korea Selatan.

Apabila kisah berdirinya Borobudur diilustrasikan dalam bentuk drama sageuk, tentu saja keistimewaan masa itu bisa dilihat secara visual oleh berjuta mata di Indonesia bahkan dunia. “Wow, ternyata Indonesia pada abad ke-8 seperti ini ya?”

Borobudur dibangun awal tahun 770 M-825 M pada masa pemerintahan Raja Samarotungga dari Wangsa Syailendra. Konon, candi tersebut selesai dan diresmikan oleh Sang Putri, Pramodawardhani, sebagai pusat ajaran Buddha terbesar dan juga menjadi sentral ilmu pengetahuan. 

Tak heran bila tempat ini disebut sentral ilmu pengetahuan. Dilihat dari tiap relief yang terpahat, Borobudur memiliki beragam kisah seperti perkembangan ekonomi, flora, fauna, perdagangan, persebaran agama hingga seni permusikan. 

Borobudur pusat musik dunia. Percayakah kamu akan pernyataan tersebut? Ya, kamu harus percaya. Sebab di bagian dinding-dinding candi ditemukan kurang lebih 226 relief yang berhubungan dengan alat musik. Kalau ditilik dari dimensi masa lampau, 226 bukanlah angka yang sedikit.

Beberapa relief mengenai musik yang terpahat di dinding Borobudur (Edit Pribadi)
Beberapa relief mengenai musik yang terpahat di dinding Borobudur (Edit Pribadi)

Benarkah tahun se-kuno itu sudah ada alat musik sebanyak itu dan siapa pengagas terciptanya alat-alat musik tersebut sehingga tertera di relief-relief? Berbagai pertanyaan satu demi satu mulai menguar dipikiran.

Ada sebuah puzzle masa lalu yang belum tersingkap dan itu membuat banyak orang penasaran. Peradaban seperti apa yang dimiliki nusantara kala itu hingga manusia mampu menciptakan bangunan luar biasa besar sehingga layak dinyatakan sebagai The World Heritage oleh UNESCO pada 1991.

Kemegahan Borobudur bila dilihat dari atas  (sumber : Youtube Bumi Borobudur)
Kemegahan Borobudur bila dilihat dari atas  (sumber : Youtube Bumi Borobudur)

Apabila waktu 770 M-825 M dikaitkan dengan sejarah kerajaan negara lain, yakni Korea, maka masa pemerintahan Raja Samarotungga masuk dalam periode Silla Bersatu (668-935).

Hayoo, siapa yang pernah menyaksikan drama sageuk berjudul The Great Queen Seondeok. Well, drama tersebut mengambil latar waktu ketika Putri Deokman (Ratu Seondeok) berkuasa di negeri bernama Silla (632-647 M) dimana kala itu Gegoryeo, Baekje dan Silla belumlah bersatu.

Bila kamu pernah menontonnya, setidaknya kamu bisa melihat gambaran suasana istana dan kentalnya tradisi yang ada di drama tersebut. Keren bukan? Kita patut bangga, sebab berdasarkan relief yang terpahat di Borobudur, kita tahu bahwa Samarotungga adalah seorang raja yang mengagungkan seni dan nilai-nilai religiusitas.

Sebagai sosok pecinta seni dan memiliki penghormatan tinggi pada ajaran Buddha, Samarotungga berkeinginan mengukir berbagai memori peradaban kala itu melalui pembangunan Bhumi Sambhara Budara yang berarti timbunan tanah, bukit atau tingkat-tingkat bangunan.

 (Dok.Pri)
 (Dok.Pri)

Terbukti, tiap relief di Borobudur mengandung beragam informasi, termasuk mengenai persebaran alat-alat musik yang tidak hanya berasal dari nusantara, tetapi juga negara lain seperti Thailand, India, China, Mesir, Jepang dan mungkin saja Korea.

Mengapa saya menyandingkan sejarah Borobudur dengan Drama Sageuk dan Sejarah Kerajaan Korea? 

Siapapun tahu bahwa saat ini Korea Selatan memiliki nilai khusus bagi generasi era kiwari, terutama melalui film/drama yang dibuat begitu apik dan epik. Melalui drama sageuk serta sedikit sejarah mengenai Korea, setidaknya pikiran kita jadi mudah mengilustrasikan kondisi Mataram Kuno saat itu serupa. Ya, meskipun tak sama persis.

Editan Pribadi
Editan Pribadi

Bagi pecinta film/drama Korea berlatar sejarah kerajaan, rasanya sudah cukup mafhum dengan pernak-pernik yang dimiliki cerita mulai dari makanan, pakaian, latar tempat, hingar-bingar tradisi kerajaan, penokohan hingga segala unsur yang harus ada seperti tari-tarian serta musik.

alat-alat musik yang dimiliki Korea. Bukankah hampir sama seperti yang terpahat di Borobudur? (Sumber gambar : Klook)
alat-alat musik yang dimiliki Korea. Bukankah hampir sama seperti yang terpahat di Borobudur? (Sumber gambar : Klook)

Diceritakan bahwa ada seorang raja akan kedatangan tamu istimewa dari negeri lain. Sebuah pesta penyambutan dipersiapkan. Acara akan dirayakan dengan kemewahan khas kerajaan. Berbagai jenis hidangan lezat, tari-tarian indah dan alunan musik yang merdu pun dipersiapkan

Ketika upacara penyambutan berlangsung, para penari mulai gemulai menggerakkan anggota tubuh mereka. Musik-musik layaknya gayageum (petik), daegeum (tiup), haegeum (gesek) dan geomungo (dawai), dilantunkan dengan keras dan meriah. Para tamu undangan yang hadir terlihat bahagia menikmati setiap nafas budaya dan seni yang disajikan kerajaan.

Kemudian, melalui scene dari drama tersebut, sekelumit cerita bahwa Kerajaan Mataram pada masa Dinasti Syailendra melakukan hal yang sama melintas di pikiran.

Pada zaman itu, ritual menjamu tamu, menyambut musim hingga perayaan besar keagamaan juga menampilkan berbagai permainan alat musik layaknya di drama sageuk. Ya, semuanya terpampang nyata dalam relief Karmawibhangga

Menghidupkan Musik Masa lalu melalui Sound of Borobudur

Dimensi Masa Kini

Hari itu, tahun 2017 saya berkunjung pertama kali ke Candi Borobudur dalam rangkaian acara field trip bersama 20 orang lebih. Para peserta field trip terlihat kagum menyaksikan megahnya candi yang terlihat dari jauh. Sebab, itu kala pertama bagi kami berkunjung kesana.

Borobudur kala itu, penuh dengan lautan manusia yang hendak berwisata (Dok.Pri)
Borobudur kala itu, penuh dengan lautan manusia yang hendak berwisata (Dok.Pri)

Dibawah terik matahari, setiap orang mulai cekrak-cekrek mengambil gambar, mengabadikan tiap momen yang bisa dibuat di atas pelataran Candi Borobudur.

Dibalik keberadaannya saat ini, apakah Borobudur hanya sebatas berfungsi tempat wisata bagi orang Indonesia? Sungguh disayangkan bila itu benar. Sebab, menurut saya, makna Borobudur lebih dari itu. 

Pertama kali menjejak dan melihat tiap relief yang tergurat, ada rasa penasaran dalam benak ini mengenai cerita dibalik fungsi Borobudur. Layaknya arsitektur yang dibangun di masa modern, setiap pahatannya mengangumkan. Saya yakin proses memahatnya membutuhkan waktu lama.

Sudut-sudut Borobudur yang memiliki relief dengan berbagai cerita (Dok.Pri)
Sudut-sudut Borobudur yang memiliki relief dengan berbagai cerita (Dok.Pri)

Wisatawan awam mungkin menganggap Borobudur hanya sebagai tempat refreshing saja. Wajar memang. Padahal lebih dari itu, bangunan tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia di masa lampau memiliki peradaban yang maju.

Yap, kita tidak pernah kalah dengan bangsa lain menyoal peradaban. Wonderful Indonesia sebenarnya sudah tersemat bahkan sejak kita belum lahir ke dunia. Lantas, bagaimana agar relief-relief itu tak sekadar guratan mati di atas baru?

Di salah satu relief bernama Karmawibangga, terukir cerita mengenai orang-orang yang memainkan alat musik. Dialah Tri Utami dan rekan-rekannya yang sampai saat ini tengah berusaha kuat menghidupkan relief tersebut dalam bentuk alat musik nyata.

Trie Utami, Rully Fabrian, Redy Eko Prastyo, KRMT Indro Kimpling Suseno, dan Bachtiar Djanan yang tergabung dalam  Japung Nusantara (Jaringan Kampung Nusantara) mulai berdiskusi banyak hal. Mereka mempelajari berbagai literatur buku dan foto-foto sehingga alat musik yang hendak diwujudkan nantinya memiliki kemiripan layaknya yang tergurat di relief Karmawibhangga.

Sumber gambar : Japung Nusantara
Sumber gambar : Japung Nusantara

Tak berhenti pada satu waktu, Trie Utami dan yang lainnya berinisiatif untuk terus bergerak mengeksplorasi, meriset, mewujudkan, dan membunyikan kembali berbagai alat musik yang terpahat di relief-relief Karmawibhangga, Jataka, Lalitavistara, Avadana, dan Gandavyuha di candi Borobudur.

Hasil eksplorasi tersebut menghasilkan temuan lebih dari 200 relief yang terdapat di 40 panel di candi ini, menampilkan lebih dari 40 jenis instrumen alat musik, seperti alat musik musik kordofon (petik), aerofon (tiup), idiofon (pukul), dan membranofon (membran).

Dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast yang meliputi aktifitas Sonjo Kampung dan selebrasi pentas seni budaya di 5 panggung, terdapat sesi bernama Sound of Borobudur. Nah, di sesi inilah semua temuan dari relief-relief itu dimainkan dengan apik dan epik sehingga membuat siapapun yang mendengarnya menjadi terkesima.

Sumber gambar : Japungnusantara.org
Sumber gambar : Japungnusantara.org

Sound of Borobudur menjadi sebuah gerakan yang bersumber dari gagasan untuk membunyikan kembali berbagai alat musik yang wujudnya terpahat dalam relief-relief candi, dan menjadi bukti kebesaran peradaban leluhur bangsa Indonesia yang telah mendunia pada masanya.

Menghidupkan musik-musik dari relief memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun demikian, melalui usaha serta dukungan dari banyak pihak, semua mimpi mengedukasi masyarakat melalui seni bisa tercapai. Ini lho kekayaan yang harus kita sebarkan ke setiap orang!

Sound of Borobudur pantas dirayakan dan dijadikan momentum tahunan oleh pemerintah sebagai ajang edukasi dan wisata. Sebab, ia merupakan inisiator yang bisa jadi melahirkan gerakan-gerakan selanjutnya untuk memvisualisasikan peradaban negeri.


Saya berharap, Sound Of Borobudur tak hanya berhenti pada Tri Utami, Purwacaraka, Dewa Budjana dan tokoh-tokoh penggagas lainnya, tetapi juga diteruskan eksplorasinya oleh generasi muda di masa depan agar warta kemahsyuran nusantara di masa lampau tak pernah mati terkikis zaman.

***

Tahun 2021. Saat ini kita memang berada jauh dari dimensi ketika Raja Samarotungga menginisiasi pembangunan Candi Borobudur untuk banyak kepentingan. Namun demikian, kita setidaknya paham bahwa leluhur kita merupakan manusia-manusia hebat yang mampu menciptakan keajaiban dunia meski melalui banyak keterbatasan. Leluhur kita adalah sosok cerdas sehingga sebagai generasi muda kita pantaslah bangga.

Sound of Borobudur adalah satu dari beribu cara yang bisa kita usahakan agar peradaban di negeri ini tak pernah kandas. Masih banyak puzzle kejayaan yang harus diurai dari relief-relief yang tergurat. Itu baru satu candi lho, belum bangunan peradaban lainnya yang ada di seluruh negeri. Wonderful Indonesia! 

Kawanmelalui terciptanya Borobudur dan peradaban maju yang menaunginya, kita sepantasnya bangga menjadi bagian dari Indonesia. Ya, karena sejak dulu hingga selamanya, kita memiliki leluhur bangsa yang hebat dan kuat. So, masih insecure dengan bangsa lain? Kalau saya sih tidak!

Referensi :

soundofborobudur.org

Tirto.id

Japungnusantara

Wikipedia

Bumiborobudur.com

Journey.blok-a.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun