Mohon tunggu...
Nurul Mutiara R A
Nurul Mutiara R A Mohon Tunggu... Freelancer - Manajemen FEB UNY dan seorang Blogger di www.naramutiara.com

Seorang Perempuan penyuka kopi dan Blogger di http://www.naramutiara.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika Menabung Air Hujan Sama Pentingnya dengan Menabung Uang

11 September 2019   20:15 Diperbarui: 11 September 2019   21:34 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jawaban umum saat orang ditanyai alasan mereka menabung adalah persiapan dana atau investasi untuk masa depan. Ya, menabung memang masih menjadi pilihan banyak orang yang tak mau ribet dengan risiko nir-dana di kemudian hari.

Melalui kegiatan menabung pula, orang belajar mengenai pentingnya perencanaan matang, hingga pengendalian diri terhadap sikap boros. Mengapa bisa begitu? Layaknya orang berpuasa, kebiasaan menahan rasa lapar pada siang hari, membuat lambung beradaptasi untuk menerima makanan secukupnya. Menabung juga demikian, kita diajarkan untuk menahan diri dari pembelian barang yang tak dibutuhkan.

Bicara menabung, memang, pikiran manusia telah termindset pada sesuatu yang berhubungan dengan keuangan. Namun, bagaimana jika ia tak melulu membahas perihal itu, tapi membahas air hujan sebagai bentuk investasi di kemudian hari. Apakah kamu terbesit gambaran tentangnya? Andaikata belum, mari kita dedah soal menabung air hujan dan alasan masyarakat harus memulainya.

Menabung air hujan? Benar, untuk orang yang masih awam—seperti saya misalnya—mungkin akan terdengar aneh. Pasalnya, waktu musim hujan tiba, kita acapkali menyaksikan berita mengenai banjir yang melanda daerah-daerah di Indonesia, tak terkecuali Jakarta. Kala banjir terjadi, itu artinya debit air yang ada di atas permukaan tanah melebihi kapasitas wajar. Tak heran pikiran polos saya pernah nyeletuk,

“Sering kelebihan air tapi kok harus menabung air hujan, biar apa?”.

Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dengan sumber air bersih melimpah atau bahkan sering banjir, celetuk polos saya mungkin saja diamini. Sebab, mereka tak pernah merasakan kekurangan air. Namun, berbeda pada mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dengan kondisi sumber air keruh dan tercemar. Bisa jadi mereka menganggap bahwa menabung air hujan bukan sesuatu yang aneh. Siapa tahu, itu merupakan bentuk solusi yang telah dinantikan.

Indonesia memang masuk sebagai negara atas kepemilikan air yang besar. Menyuplik informasi dari Goodnewsfromindonesia.id bahwa negeri ini merupakan pemilik kekayaan air tawar peringkat ke 5 setelah Amerika Serikat dengan jumlah 2838 meter kubik.

Peta peringat kepemilikan air di dunia (Sumber gambar : www.mapsofworld.com)
Peta peringat kepemilikan air di dunia (Sumber gambar : www.mapsofworld.com)

Kekayaan air tawar itu berasal sumber air berupa sungai, danau, situ atau embung alami yang terisi oleh hujan. Meskipun begitu, tak semua tempat memiliki sumber air tawar yang cukup, kondisi geografis berupa wilayah kepulauan, membuat curah hujan tersebar tak merata. Nusa Tenggara Timur misalnya, menjadi provinsi yang secara alami tak menerima pasokan hujan cukup sehingga mengalami kelangkaan air.

Beberapa penyebab terjadinya kelangkaan air bersih (Dokumen Pribadi)
Beberapa penyebab terjadinya kelangkaan air bersih (Dokumen Pribadi)

Menyoal kelangkaan air bersih, sebenarnya tak hanya berkaitan pada kondisi geografis saja. Perkembangan industri dan peningkatan jumlah penduduk juga turut memberi andil mengurangi volume air bersih akibat pencemaran lingkungan.

Mengutip pernyataan Hermanto Dardak dalam Mongabay.co.id (Tahun 2014), 73 persen dari 53 sungai utama di Indonesia telah tercemar oleh bahan organik dan kimia, entah berasal dari limbah industri maupun limbah rumah tangga.

Kita tak bisa menafikan bahwa perkotaan merupakan surga bagi aneka industri, gedung-gedung sekaligus tempat impian bagi masyarakat pendatang. Kondisi ini jelas membawa dampak negatif dari aspek lingkungan. Baik industri maupun masyarakat membutuhkan tempat pembuangan limbah produksi mereka. Bisa ditebak, sungai pada akhirnya menjadi tempat berlabuh limbah-limbah itu hingga bertahun-tahun lamanya.

Dampak pencemaran sungai tak hanya berbicara mengenai air di dalamnya saja, tapi merembet ke bagian lain—memberi efek domino pada lingkungan di sekitar termasuk lahan-lahan yang ada. Bayangkan, tatkala limbah telah tertumpuk bertahun lamanya, kemudian merembes melalui pori-pori tanah. Berapa kilometer lahan yang terkena dampak dari pencemaran sungai tersebut? Tentunya tidak sedikit.

Tak heran, apabila sungai sudah parah tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, sumber air bersih berupa sumur bor pun sudah tak bisa diyakini tingkat layak dan higienisitasnya. Sekiranya terlanjur seperti ini, cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah berkolaborasi untuk kesuksesan kegiatan menabung air hujan.

Lantas pertanyaan berikutnya, bagaimana teknis menabung air hujan itu, apakah selama hujan datang, tiap rumah menyediakan ember-ember besar atau tangki untuk menampung air yang jatuh?

Ya, secara awam memang begitu. Hanya saja, menabung air bersih yang dimaksud ialah yang memiliki nilai di masa mendatang. Layaknya investasi, ia tak hanya berfungsi untuk kegunaan jangka pendek, tapi juga jangka panjang. Menampung air hujan ke dalam ember hanya bersifat sementara. Sebab, pada akhirnya ia juga akan habis terpakai dalam beberapa hari.

Berbeda dengan menampung air hujan langsung ke ember, menabung air hujan yang dimaksud adalah mengalirkan air hujan kedalam sumur-sumur resapan yang dibangun di bawah permukaan tanah. Sumur resapan ini akan berfungsi sebagai penampung sementara yang kemudian melepaskan kembali air melalui celah-celah tanah.

Kinerjanya hampir serupa dengan pohon yang menyerap air melalui akar-akarnya. Air yang masuk melalui akar kemudian disaring dan disimpan oleh pohon sebagai cadangan minum ketika musim kemarau datang. Itu sebabnya, semakin lebat hutan di suatu wilayah, semakin banyak pula cadangan air yang tersimpan. Akar-akar pepohonan itu mengunci air agar tak mengalir ke tempat lain.

Beberapa cara menabung air hujan (Desain Pribadi)
Beberapa cara menabung air hujan (Desain Pribadi)

Sebenarnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menabung air hujan. Nah, dari ke-4 cara tersebut, yang paling mungkin dilakukan di wilayah perkotaan adalah dengan membangun sumur resapan atau biopori. Alasannya karena di perkotaan, lahan yang dimiliki masyarakat jumlahnya terbatas.

Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sempat mencanangkan pembangunan drainase vertikal berupa sumur resapan. Pembangunan drainase tersebut ditujukan untuk keperluan menabung air hujan. Lebih tepatnya, menampung rintik-rintik air yang jatuh agar tak hilang mubazir karena mengalir ke wilayah lain.

Menabung air hujan melalui sumur resapan (Sumber gambar : Kementerian LHK)
Menabung air hujan melalui sumur resapan (Sumber gambar : Kementerian LHK)

Anies menegaskan bahwa drainase berupa sumur resapan ini juga bisa mencegah potensi terjadinya banjir selama musim hujan serta menambah volume air bersih ketika musim kemarau tiba. Mengapa demikian? Sumur resapan didesain untuk mengunci air agar tetap berada di dalam tanah bahkan ketika terjadi hujan lebat. Melalui sumur resapan itu, Anies berharap bisa menabung air hujan supaya pemenuhan air bersih masyarakat Jakarta terpenuhi.

0o-5d78e612097f3601e02c6f72.png
0o-5d78e612097f3601e02c6f72.png
Saat ini kekeringan telah menjadi ancaman—bukan hanya di kota-kota besar saja, melainkan hampir setiap wilayah di Indonesia pernah mengalaminya.

Menurut Sekjen Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Lilik Kurniawan dalam Satuharapan.com, pada musim kemarau, di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, terjadi defisit air sekitar 20 miliar meter kubik. Kekeringan melanda 16 provinsi meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di Indonesia hingga akhir Juli 2015.

Ketika musim kemarau tiba, masyarakat menjadi kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih. Tak jarang, kita menyaksikan melalui layar kaca, ratusan orang setia mengantri sambil membawa jerigen-jerigen—berharap mendapatkan air bersih melalui truk-truk pembawa tangki air dari luar wilayah.

Melihat pemandangan orang mengantri air, terbesit rasa ironis dalam hati. Indonesia itu negara kaya air, apa-apa dikelingi air, tapi kok masih aja kekurangan air.  Saya jadi ingat sebuah celetuk menarik dari bapak sekira 10 tahun yang lalu mengenai “Perampok di Gurun Pasir”.

“Kamu tahu Nduk, bedanya perampok di Indonesia sama di Negeri Gurun Pasir? Kalau di sini, orang merampok uang atau emas, tapi, kalau di sana, orang merampoknya air. Soalnya air sama berharganya dengan emas”

Air sama berharganya dengan emas? Ya, ada penjelasan cukup logis mengapa orang di gurun pasir lebih membutuhkan air ketimbang emas. Ini berkaitan dengan hidup mati mereka. Penelitian mencatat, manusia hanya bisa bertahan maksimal 6 hari tanpa air. Itupun jika berada di daerah pegunungan seperti di Indonesia bukan gurun pasir yang panasnya berkali lipat.

Bicara soal celetuk bapak saya 10 tahun lalu. Saya membayangkan apabila suatu hari nanti, air bersih akan menjadi barang yang langka dan berharga di Indonesia, perampok tak hanya memasukkan uang, emas atau berlian kedalam list curian mereka. Tapi juga air bersih yang keberadaannya menjadi langka. Tidak, tidak!! Itu hanya imajinasi liar saya saja. Jangan sampai hal itu terjadi.

Krisis air bersih menjadi permasalahan bersama. Salah satu cara paling solutif yang bisa  kita perbuat adalah melalui investasi, yakni menabung air hujan melalui berbagai cara. Saat skala pembangunan yang dibuat memang besar, waduk atau telaga bisa menjadi media menabung hujan. Tetapi, jika berada di perkotaan yang notabene memiliki lahan sempit, sumur resapan atau biopori bisa jadi media paling pas.

Menabung air hujan telah menjadi gerakan sekaligus solusi yang diupayakan oleh berbagai pihak tak terkecuali masyarakat sendiri.  Seperti di dusun Kemuning, Gunung Kidul, Yogyakarta, misalnya—yang menggunakan telaga buatan sebagai sumber air bagi masyarakat.

Telaga Kemuning sebagai media menabung air hujan bagi masyarakat (Dokumen Pribadi)
Telaga Kemuning sebagai media menabung air hujan bagi masyarakat (Dokumen Pribadi)

Masyarakat Kemuning sadar, bahwa Gunung Kidul merupakan wilayah gersang dan berbatu, sehingga dimungkinkan bakal kekurangan air di masa depan. Mereka kemudian memanfaatkan telaga yang ada untuk menampung air hujan sebanyak-banyaknya. Telaga itu kini diperluas dan dibangun tanggul berupa semen untuk mencegah air hilang ke tempat lain.

Telaga Kemuning memang bukan sumber air satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tetapi, setidaknya itu membantu masyarakat untuk keperluan lain seperti perikanan, pertanian hingga ekowisata. Manfaat dari hadirnya telaga ini bisa dilihat dari rimbunnya pepohonan disekitar telaga hingga hadirnya wisatawan yang berkunjung.

Telaga Kemuning sebagai Ekowisata bagi masyarakat (Dokumen Pribadi)
Telaga Kemuning sebagai Ekowisata bagi masyarakat (Dokumen Pribadi)

Menabung air hujan, memanen berbagai manfaat. Ya, saya pun mengakui itu. Nyatanya kita tak pernah tahu mengenai risiko-risiko yang bisa terjadi di masa depan. Layaknya menabung uang, menabung air hujan pun sama pentingnya untuk mengatasi segala risiko yang mungkin bisa terjadi, seperti kekeringan. Lepas dari itu semua, tentu saja, bijak menggunakan air adalah hal paling utama. Tabik.

Referensi :
Goodnewsfromindonesia.id
Mongabay.co.id 
Satuharapan.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun