Lengkara menatap hamparan bunga di depannya. Diliriknya sang kekasih yang sedang tertidur pulas bersantai pada pundaknya yang lebar. Lengkara tersenyum tipis kemudian mengelus surai perempuannya dengan dama.Â
"Si tua renta yang masih saja jatuh cinta."Â
Begitulah panggilan yang selalu disematkan untuk Lengkara. Setiap hari dalam seminggu. Setiap minggu dalam sebulan. Setiap bulan dalam setahun. Setiap tahun dalam seabad. Begitulah Lengkara mencintai Dala. Setiap jarum jam berdetak, berputar, dan berjalan, Lengkara selalu memujanya. Bagai mahakarya paling indah dan sempurna yang Tuhan ciptakan hanya untuk Lengkara seorang.Â
"Andai saja, tiga puluh tahun lalu aku tidak berani melamarmu, Dala. Apa kita akan jadi sepasang orang renta yang sebahagia ini?" tanya Lengkara dengan pelan.Â
Desir angin halus menerpa rambut Lengkara yang sudah putih seutuhnya. Lelaki itu sedikit terbatuk pelan.Â
"Kita tidak akan sebahagia ini, jika kamu tidak berani menampakkan diri di depan bapak dan memohon untuk cintaku Lengkara. Jika tiga puluh tahun lalu, kamu pergi setelah bapak menampar dan mengusirmu, aku tidak tahu seperti apa aku setelahnya. Kita tidak akan duduk berdua disini. Menatap hamparan bunga yang merekah menyebarkan semerbak harum yang menenangkan hati. Aku begitu beruntung. Kamu masih bertahan saat itu."Â
Lengkara terkejut. Melirik lagi pada cintanya yang kini, menatap mata Lengkara begitu lembut penuh damba. Mata sehitam bara itu tenggelam dalam mata berkelopak setipis mahkota bunga tulip.Â
"Maaf jikalau aku membangunkan tidur nyenyakmu Dala."Â
Lengkara menyelipkan rambut istrinya ke belakang telinga. Meraih jemari Dala yang keriput dan mengecupnya puluhan kali disana.Â
"Lengkara, sudah tiga puluh tahun. Sudah lama sekali, sejak kamu ditampar bapak waktu meminta izin mengikatku dalam pernikahan. Waktu cepat berlalu Lengkara. Apa kamu tidak merasa bosan?" tanya Dala dengan pelan. Dahinya yang sudah keriput, semakin berkerut.Â