Mohon tunggu...
Musyarofah
Musyarofah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Kelam Era Orde Baru yang Tertuang dalam Puisi Peringatan Karya Wiji Thukul

8 Maret 2024   09:27 Diperbarui: 10 Maret 2024   02:00 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap negara pasti punya sistem pemerintahannya masing masing seperti Singapura yang sistem pemerintahannya parlementer ataupun Amerika yang menganut sistem Demokrasi Liberal. Indonesia pun memiliki sistem pemerintahan yang dianutnya sendiri. Namun, sebelum itu Indonesia sudah beberapa kali mencoba sistem pemerintahan yang berbeda-beda seperti presidensial, parlementer semu, parlementer, hinga semenjak masa Orde Lama (1959-1966) Indonesia kembali menganut sistem presidesial sampai sekarang. Dalam sistem pemerintahan presidensial kedudukan presiden adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Saat kita mendengar kata sistem pemerintahan Indonesia pasti dibenak kita yang muncul adalah Orde Baru atau masa pemerintahan Soeharto. Mengapa demikian, pada era itu terjadi kerusuhan yang besar dampak dari ketidakpuasan masyarakat pada era pemerintahan Soeharto. Hingga pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Salah satu aktivitas masyarakat yaitu Wiji Thukul pada masa itu menuangkan kekecewaannya terhadap era kepresidenan Soeharto dalam karya puisinya yang berjudul Peringatan.

Jika rakyat pergi 

ketika penguasa pidato 

kita harus hati-hati 

barangkali mereka putus asa


Dalam bait pertama puisinya, Wiji thukul merepresentasikan dirinya sebagai masyarakat yang harus berhati-hati karena pemerintah pada saat itu menggunakan lisannya untuk mendapat kepercayaan masayarakat. Pada baris selanjutnya pun dijelaskan kondisi masyarakat yang mulai tidak mempercayai pemerintah lagi. 

Kalau rakyat bersembunyi 

Dan berbisik-bisik 

ketika membicarakan masalah sendiri 

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Di bait ini Wiji Thukul menjelaskan tentang masyarakat yang mulai berbisik-bisik tanda jika mereka sudah mulai tidak menyukai kinerja pemerintah dan tokoh Wiji Thukul ini memang sangat menentang pemerintahan Orde Baru. 

Bila rakyat berani mengeluh 

Itu artinya sudah gawat 

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah 

kebenaran pasti terancam

Dalam bait ketiga ini sang penyair mengatakan masyarakat berani mengeluh karena masyarakat sudah tidak mau lagi dikekang dengan aturan pemerintah yang otoriter. Otoriter dapat diartikan sebagai tindakan menurut kemauan sendiri yang selalu dipandang benar. Pemimpin otoriter memiliki kecenderungan keras kepala dan bersifat kaku hingga dapat memaksakan keinginan kepada khalayak. Dan dalam baris terakhir bait ketiga "kebenaran pasti terancam", Berisi kenyataan yang dialami masyarakat karena kebenaran benar-benar simpang siur dan terkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah. Lalu di bait terakhir berisi klimaks yang mengandung banyak arti. 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang 

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

maka hanya ada satu kata : lawan! 

Bait keempat berisi keotoriteran pemerintah dimana ketika masyarakat mengaspirasikan suara mereka, yang langsung ditolak tanpa didengarkan terlebih dahulu dan suara suara masyarakat yang hendak berbicara kebenaran dibungkan pada masa itu tanpa alasan yang jelas. 

Masyarakat dituduh menghasut masyarakat lain agar memberontak dan mengganggu keamanan negara padahal sebenarnya masyarakat hanya meminta hak dan keadilan. Masa orde Baru ini pers dibatasi sedemikian rupa agar tidak mengkritik kinerja pemerintah. Selain pers yang dibatasi, era soeharto ini bisa dibilang kejam karena banyak sekali pelanggaran Hak asasi manusia (HAM) yang terjadi kepada masyarakat. 

Dengan segala kekejaman yang terjadi, tak ayal membuat para masyarakat gencar melakukan pendemoan dan kalimat terakhir baris puisi tersebut begitu mebekas "maka hanya ada satu kata : lawan!"

Puisi ini memiliki banyak makna yang tersirat yang disampaikan oleh Wiji Thukul. Dengan pemilihan kata yang tak ragu membuat puisi ini menjadi hidup walaupun sudah termakan waktu. Dan puisi ini adalah peringatan untuk Pemerintah, karena seharusnya ia mengayomi rakyat bukan hanya berfokus pada kehendak dan keegoisannya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun