Tawa itu terdengar nyaring dari balik langit-langit kamar. Usai tawa itu hilang, muncul bunyi gypsum digedor-gedor. Dokdokdok! Remahan debu sampai berjatuhan mengotori seisi kamar kosku.
Bulu-buluku mendadak berdiri, keringat dingin bercucuran dari lubang pori-pori. Waktu itu aku hanya bisa meringkuk, menindih kepalaku dengan bantal sampai adzan shubuh berkumandang.
Aku sempat berharap kejadian malam itu sekadar ulah iseng dari Mbak Kating penghuni kamar sebelah. Namun segera dipatahkan setelah keesokan harinya ia menyanggah bukan dia pelakunya.Â
Maksudmu piye, Dek? Lha wong semalem aku ndak tidur di kos, O. Nih kamu kan lihat sendiri aku baru pulang
Lalu siapa? Penghuni kos-kosan ini cuma aku dan Mbak Kating. Selain kamar Mbak kating, jejeran kamar-kamar lain itu masih kosong tidak berpenghuni.
Rasanya tidak logis jika berasumsi suara ketukan dan tawa mengerikan malam itu adalah ulah dari tikus.
Pada malam kedua gangguan itu kembali muncul. Tepat di saat dua jarum jam menyentuh angka dua belas, terdengar seperti ada yang mengetuk, mengusap-usap dan mencakar-cakar tembok dari balik kamar sebelah yang kosong.Â
"Toktok! Srtt..srtt.. srakk.. krtkk..krtkk" bunyi yang bikin ngilu itu tak henti-henti terdengar sepanjang malam.
Tiap aku suruh diam. Bunyi dari tembok itu berpindah entah ke pojok, ke tengah, ke pintu. Yang bikin jengkel, kekehan macam kuntilanak di film selalu saja muncul tiap kali bunyi itu berpindah. Aku tak bisa apa-apa selain pasrah menunggu shubuh.
Dan malam tadi, malam ketiga aku menghuni kamar ini intensitasnya semakin parah. Bukan cuma bebunyian yang berisik, kali ini gangguan mulai berani menyerang fisik. "Ini pasti ulah setan!"
Dua kali malam tadi aku merasakan kakiku digelitik, leherku ditiup-tiup, hingga badanku seperti diinjak-injak berulang kali. Aku sampai menangis ketakutan dibuat olehnya.
Srkk... Jedukg!!!