Mohon tunggu...
M Mushthafa
M Mushthafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru SMA 3 Annuqayah, salah satu sekolah di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Berlatar belakang pendidikan pesantren, lalu belajar filsafat dan etika terapan. Saat ini, selain mengajar, aktif di pendampingan kegiatan kepenulisan dan literasi serta kegiatan peduli lingkungan di sekolah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Problem Etis dalam Pembiayaan Pendidikan: Pemiskinan Negara, Kepentingan Publik, dan Otonomi Pendidikan Masyarakat

17 September 2010   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun dari banyak segi yang lain, dunia pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah. Di antara yang utama adalah soal akses. Menurut data Depdiknas, pada tahun pelajaran 2007/2008, 2,2 juta anak usia wajib belajar (7-15 tahun) tak menikmati pendidikan dasar sembilan tahun terutama karena faktor ekonomi dan kurangnya kesadaran orangtua. Untuk anak usia 16-18 tahun, ada 5,5 juta yang tak bersekolah. Sedangkan usia 19-24 tahun, 20,7 juta tak mengenyam bangku kuliah (Kompas, 11/12/2009).

Akses yang sulit ini menjadi semakin problematis ketika kesenjangan akses pendidikan ini dalam kasus tertentu didukung oleh kebijakan negara. Darmaningtyas, misalnya, menyorot kebijakan pengembangan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang justru mendorong terbentuknya kastanisasi sekolah. Keberadaan sekolah yang sebelumnya berlabel “unggulan” ini dilegitimasi dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003. Pasal 50 Ayat 3: ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan jadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Masalahnya adalah: sekolah jenis ini mendapat gelontoran dana yang cukup besar dari pemerintah, dan pada saat yang sama diberi kebebasan untuk memungut dana tambahan dari murid. Pendidikan menjadi elitis, dan akses masyarakat miskin untuk jenis pendidikan semacam ini seperti menjadi mustahil (Darmaningtyas, 2010).

Jika menurut UUD 1945 negara berkewajiban untuk memenuhi hak pendidikan warga negaranya, bagaimana kita menilai pemenuhan kewajiban tersebut? Apakah negara sudah dapat dikatakan berhasil menunaikan kewajibannya? Dalam buku Utang dan Korupsi Racun Pendidikan (2008), Darmaningtyas menyatakan bahwa negara belum dapat memenuhi kewajibannya tersebut. Tyas menyebut tiga faktor penyebabnya, yakni utang luar negeri, korupsi, dan inefisiensi.

Warisan utang luar negeri yang menggunung telah berakibat pada berbagai sektor kepentingan publik. Pada tahun 2003, total utang Indonesia mencapai US$ 150 miliar. Jumlah ini melampaui produk domestik bruto (GDP) yang dihasilkan Indonesia. Pada 2004, total pembayaran bunga pinjaman memakan 92,67% total penerimaan negara, yakni sebesar US$ 7,9 miliar. Karena beban pembayaran utang begitu tinggi, maka dampak yang paling terasa oleh masyarakat saat ini adalah pengurangan subsidi untuk berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, perumahan, pertanian, dan sebagainya.

Korupsi terjadi di mana-mana, mulai dari lembaga pemerintah, BUMN, lembaga legislatif, bahkan juga dalam dunia pendidikan. Tyas menguraikan bahwa dana pinjaman untuk beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk membantu sektor pendidikan pada saat krisis ternyata juga banyak mengalami kebocoran dan salah sasaran. Temuan Tim Pengendali Program JPS yang diketuai Mar’ie Muhammad memaparkan bahwa salah sasaran program beasiswa SD-SMTA mencapai 60%. Pada saat yang sama pemerintah justru mengucurkan dana BLBI yang mencapai 144 triliun rupiah untuk para pengusaha yang hingga kini penyelesaiannya masih gelap.

Sementara itu, inefisiensi terjadi baik terkait dana pendidikan, dana negara, atau dana masyarakat. Karena tak efisien, dana yang memang terbatas itu jauh dari sasaran, bocor ke mana-mana, atau diterima oleh orang yang tidak tepat. Di antara contoh yang dikemukakan adalah pemborosan dana dalam pelaksanaan pilkada atau pemilu. Contoh lainnya yang cukup dekat dengan kita adalah kasus pembangunan gedung SMPN 2 Pasongsongan, Sumenep. Bangunan sekolah tersebut memiliki sembilan ruang kelas, satu ruang guru, satu ruang perpustakaan, dan satu ruang laboratorium. Padahal, ketika Tyas berkunjung ke sana tahun 2002, sekolah itu hanya memiliki 63 murid—artinya, hanya membutuhkan 3 ruang kelas. Di Madiun dibangun gedung senilai Rp 43 miliar untuk rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang akhirnya mangkrak dan tak digunakan, karena pejabatnya belum siap menjalankan program tersebut. Di sekolah, inefisiensi juga banyak ditemukan, mulai dari program study tour, penyediaan seragam, buku LKS, dan sebagainya.


Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa pemenuhan kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan bagi warga negara sejauh ini tampak problematis, di sisi yang lain kita juga melihat bahwa semenjak era reformasi dan era otonomi daerah peluang masyarakat dan lembaga pendidikan untuk memperoleh bantuan dana (pembiayaan) pendidikan dari pemerintah menjadi semakin lebar. Isu reformasi, demokratisasi, dan transparansi memaksa pemerintah untuk lebih terbuka mengelola dana yang dimilikinya, termasuk dana pendidikan. Berbagai jenis bantuan dan tunjangan untuk pendidikan semakin banyak. Hal ini terjadi juga karena didorong oleh amanat konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Hal yang cukup menarik untuk direnungkan adalah: apakah setelah negara, pada tingkat tertentu, memberi perhatian yang lebih pada sisi pembiayaan, hal itu kemudian diiringi dengan peningkatan mutu pendidikan?

Selain itu, penting juga dicatat bahwa hingga kini pun, masalah korupsi dan inefisiensi masih terus membelit dunia pendidikan kita. Tambahan lagi, meski faktanya berbagai jenis bantuan dana tampak semakin banyak diturunkan ke sekolah-sekolah, negara juga diam-diam mulai melepas tanggung jawabnya dari kewajiban untuk membiayai pendidikan. Ini di antaranya tampak dalam UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan—yang beberapa bulan lalu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (lebih jauh, baca dua tulisan Darmaningtyas di Kompas, 7 April 2010 dan 3 Mei 2010 tentang masalah ini, termasuk tentang ancamannya meski UU tersebut sudah dibatalkan MK).

Peran Serta Masyarakat

Jika negara tampak gagal dan bahkan mulai menghindar memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bagi warga negara, lalu bagaimanakah peran serta masyarakat dalam pendidikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun