Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politisi, Polite, dan Berisi: Sebuah "Insight" Pasca-viral Arteria Dahlan

10 Oktober 2019   16:24 Diperbarui: 11 Oktober 2019   05:32 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Arteria Dahlan saat menjadi pembicara dalam diskusi Respublica Political Institute bertajuk Perppu Ormas dan Ancaman Radikalisme di Megawati Institute, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017). (KOMPAS.com/Kristian Erdianto)

Tulisan ini tidak untuk membahas lebih panjang soal definisi politisi yang sudah banyak ditemukan di berbagai buku, penelitian, tulisan, dan keterangan-keterangan. 

Kita bisa berdebat panjang soal itu, mulai dari paradigma, teori, kriteria, fungsi, idealisme, dan lain sebagainya yang mungkin saja akan berakhir tanpa juntrungan.

Tapi menjadi penting untuk dituliskan, ketika beberapa waktu yang lalu, dan hingga saat ini, ada seorang politisi yang mendapatkan banyak respon dan nyinyiran hingga membuatnya merajai trending topic di twitter. 

Ialah Arteria Dahlan, sosok politisi muda PDI-P yang saat ini menjadi anggota dewan yang terhormat di DPR RI.

Kalimat "Anggota Dewan yang Terhormat" ini perlu disematkan dan dituliskan untuk menghindari "kekecewaan" karena tidak dipanggil atau ditulis demikian, terutama oleh Arteria Dahlan, yang sebelumnya ngomel karena merasa tidak dihormati oleh Komisioner KPK yang tidak menggunakan panggilan "yang terhormat". 

Sementara pada peristiwa lain, ia pernah menggunakan diksi "bangsat" ketika mengkritik habis Kementerian Agama terkait kasus First Travel, meski akhirnya ia meminta maaf. (Baca disini.)

Wajar kemudian ketika masyarakat menyebutnya dengan "sosok yang tidak tahu cara menghormati tetapi minta dihormati: "gila hormat". 

Sama persis dengan sebuah adegan di Mata Najwa yang viral di mana Arteria Dahlan meminta untuk "sopan sedikit" kepada Feri Amsari, sementara dirinya sama sekali tidak sopan kepada Prof. Emil Salim.

Dari beberapa potongan video yang viral tentang acara Mata Najwa yang membahas "Ragu-ragu Perppu".

Kita disajikan adegan memilukan dan menyesakkan tentang bagaimana Arteria Dahlan membentak-bentak, menunjuk-nunjuk, menghardik, dan mengatakan sesat dengan intonasi di luar batas kepada Prof. Emil Salim: sosok guru besar senior yang dihormati oleh banyak orang, bahkan oleh Jokowi, karena integritas dan keilmuannya yang mumpuni.

Sekejap banyak orang merasa hilangnya adab, sopan santun, dan akhlak dari sosok muda yang terlihat pintar, argumentatif, pandai berbicara, dan berpendidikan bernama Arteria Dahlan. 

Dalam sekejap pula, orang tersadarkan kembali, bahwa ternyata menjadi sosok beradab itu, pada akhirnya, jauh lebih penting dibandingkan sosok (yang terlihat) pintar tapi menyakitkan.

Bagaimana mungkin orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi; duduk manis di kelas untuk mendengarkan penjelasan dosen yang sebagiannya adalah profesor; pernah mengerjakan tugas makalah, proposal, skripsi, tesis, dan lainnya yang diampu oleh seorang dosen-Profesor, pernah melarat ketika menjadi mahasiswa lalu berlaku demikian tidak sopannya kepada seorang Profesor senior.

Screenshoot Twitter/dok. Mata Najwa Trans 7
Screenshoot Twitter/dok. Mata Najwa Trans 7
Atas dasar apa? Atas dasar kemampuan berbicara serta argumentasi yang dimiliki? Atas dasar jabatan mewah yang sedang diduduki? Atas dasar kebenaran yang diperjuangkan atau atas dasar apa? Kalau kemudian atas dasar ideologi, lalu ideologi seperti apa?

Kita bisa berdebat soal substansi perdebatan yang terjadi di meja Mata Najwa, tapi apa yang ditunjukkan oleh Arteria Dahlan dalam menghadapi lawan-lawan bicaranya adalah perilaku berlebihan, dan memberikan contoh buruk bagi generasi muda yang lainnya.

Apalagi, tentu saja, adegan itu disaksikan oleh jutaan pasang mata. Wajar ketika Yunarto Wijaya merespon apa yang dilakukan oleh Arteria Dahlan dengan cuitannya yang sangat menohok:

"Kita ga bisa nge-judge sepihak omongan arteria dahlan salah secara substansi, tapi yang jelas gua akan kasih liat video dia ke anak gua n bilang "Contoh orang yang berpendidikan tapi gak punya adab/manner, jangan pernah jadi gini ya nak..." @yunartowijaya. 

Komentar yang lebih dari itu sangat banyak, karena beberapa trending topic di twitter yang berkaitan dengan Arteria Dahlan isinya rata-rata kekecewaan, kemenyesakkan, nyinyiran, bahkan cacian: sebuah respon yang dianggap setara dengan apa yang dilakukannya.

Fahri Hamzah mengatakan, bahwa tugas anggota dewan itu memang berbicara, dan itu benar-benar dipraktikkan oleh sebagian anggota dewan yang terhormat itu dengan sangat baik. 

Hanya saja, Arteria Dahlan menyampaikan apa yang diyakininya dengan cara berlebihan karena menafikan dan mendegradasi semua unsur yang dimiliki oleh lawan-lawan berbicara. Wajar ketika kemudian muncul penilaian negatif terhadap sosok Arteria Dahlan, termasuk penilaian sok pintar, sombong, dan suka merendahkan.

Laku seperti itu semakin diperburuk dengan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada lawan bicaranya.

Sebgaia cotoh, menuduh mendapatkan uang kepada Feri Amsari, celetukan tokcer Najwa Shihab bahwa anggota dewan perlu belajar mendengarkan ketika Arteria Dahlan tak membiarkan lawan bicaranya menjelaskan.

Ddan itu termasuk juga adegan di akhir acara dimana ia tidak bersalaman (atau setidaknya pura-pura pasang senyum) kepada Prof. Emil Salim yang telah "dihajarnya" habis-habisan.

Arteria Dahlan, pada acara tersebut, benar-benar tampil sebagai sosok antagonis yang lengkap dan terlihat kapal. Kita juga bisa memerhatikan itu dari tarikan-tarikan nafasnya ketika berbicara untuk membantah atau ketika mendengarkan. 

Semacam ada hal luar biasa yang ingin mereka muntahkan. Andai bukan di tivi yang disaksikan secara langsung, atau bukan di acara Mata Najwa, mungkin telah ia lakukan semua itu sebagai "pembelaan" atas kebenaran dan ideologi yang diyakininya.

Melihat semua itu, rakyat Indonesia merasa sedih, dan pada sisi tertentu geram dan muak. Kita bisa menyampaikan argumentasi apapun, tapi harus dilakukan dengan cara yang benar. Bahkan sebuah kebenaran pun, harus disampaikan dengan cara yang benar dan terhormat, bukan dengan umpatan.

Apa yang terjadi pada malam itu benar-benar menjadi contoh buruk bagi generasi muda; semakin memperburuk citra anggota dewan yang terhormat; tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin sekarat; serta telah matinya adab, sopan santun, serta akhlak terhadap sosok yang lebih tua. Nyeseknya, hal itu dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat dan di hadapan banyak orang.

Saya tidak tahu apakah "tafsir" ini sudah ada yang menjelaskan, tapi bagi saya, politisi itu harus memiliki polite (sopan santun) dan isi (keilmuan, pengalaman, dan kemampuan). 

Politisi itu adalah mereka yang memiliki adab sebagai bekal keterpilihan sekaligus untuk dijadikan percontohan bagi segenap rakyat karena posisi mereka yang terhormat. 

Politisi juga harus memiliki "isi" di kepalanya, yang dengan itu melahirkan ide dan gagasan untuk kemajuan bangsa dan membela rakyat yang telah memberikannya posisi. Sebuah insight yang saya dapatkan atas kejadian viralnya Arteria Dahlan.

Namun, apapun yang terjadi, hal ini kembali mengingatkan tentang pentingnya akhlak dibandingkan ilmu dan kecerdasan. 

Menjadi sia-sia jika keilmuan tak dibarengi dengan keadaban, karena ilmu yang dimiliki harusnya menjadi laku positif yang bernilai kebaikan, bukan melahirkan anomali perilaku yang berwujud keburukan.

Tulisan ini, bukanlah sebuah ketidak-sopanan karena rakyat kecil memang berhak untuk menyampaikan kritikan. Saya anggap cara ini benar, setidaknya tidak berlebihan seperti dilakukan oleh Arteria Dahlan dengan diksi, ekspresi, serta intimidasi, dan "merendahkan" lawan bicaranya, bahkan yang lebih tua. 

Mungkin saja, adegan semalam perlu diperlihatkan lagi kepada Arteria Dahlan, bagaimana jika itu dilakukan oleh orang lain kepada orang tuanya atau adegan itu diperlihatkan kepada anak-anaknya.

Barangkali, karakter Arteria Dahlan tidak seperti itu. Apa yang dialaminya semalam hanyalah laku sementara yang distimulus oleh hal-hal yang membuatnya tidak sabar sekaligus tidak sadar. Sebuah laku tempramen yang tidak permanen. 

Tapi yang jelas, kita semua telah diingatkan kembali terhadap "daya magis" sebuah prinsip, bahwa "kesopanan lebih tinggi nilainya daripada kecerdasan". 

Jangan dimaknai cerdas dan pintar itu tidak diperlukan, sebab keduanya tetaplah penting dimiliki seseorang. Tapi akan jauh lebih bernilai ketika semuanya bermuara pada kesopanan, budi, dan akhlakul karimah.

Ini terbukti, bahwa pada akhirnya yang dinilai pada sosok Arteria Dahlan semalam, bukan pada kepintaran, logika, dan penjelasan argumentatifnya, tapi justru adab yang ditunjukkannya. 

Andai itu dilakukan dengan cara yang lebih baik, benar, lebih sopan, dan dengan terhormat, tentu Arteria Dahlan akan mendapatkan pujian, minimal tepuk tangan, bukan sorakan.

Kita berharap, semua politisi yang menjadi anggota dewan yang terhormat itu menjadi politisi yang memiliki sopan santun dan adab (polite) serta kepalanya yang berisi. Semoga.

Salam
Mustafa Afif
Bukan Orang Beradab, Tapi Terus Belajar Untuk Semakin Beradab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun