Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Batik, Plagiasi Ide Grab, dan Pentingnya Melestarikan dan Menjaga Kebudayaan Bangsa

3 Oktober 2019   14:19 Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:09 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membatik. (sumber: ShutterStock)

Hari Batik Nasional, yang diperingati kemarin, 02 Oktober 2019, memiliki sejarah panjang sebelum akhirnya dinyatakan secara resmi sebagai hak milik Indonesia yang diakui dunia Internasional. 

Sejak pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, diacuhkan karena dianggap tidak menarik, mulai diangkat ketika banyak yang menggunakan dan tertarik dengan berbagai motif, diklaim sebagai milik Malaysia, hingga diresmikan sebagai milik kita: bangsa Indonesia.

Seperti kita tahu, setelah melalui berbagai cara dan upaya panjang untuk memperjuangkan batik, akhirnya Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, Kebudayaan (UNESCO) menyatakan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intengible Heritage of Humanity) karena teknik, simbolisme, dan budaya terkait batik dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia. Pengakuan itu terjadi pada tanggal 02 Oktober 2019, sehingga pada tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Batik Nasional.

Sebelum itu, Malaysia mengklaim batik sebagai warisan nenek moyangnya. Klaim itu kemudian membuat berang banyak orang. Bukan sekali itu saja Malaysia mencoba "nakal" dengan menguntiti kekayaan-kekayaan budaya Indonesia. Kedekatan secara budaya, bahasa, dan batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia memang rentan untuk menyulut konflik.

Sejarah panjang "perang psikologis" Indonesia dengan Malaysia memang tak bisa dinafikan. Mulai dari hal-hal berat, seperti politik, tenaga kerja, keamanan, dan batas wilayah hingga persaingan dalam dunia olahraga, seperti sepakbola. 

Malaysia pun, dalam beberapa kasus, memang tampak "nakal" ketika melakukan klaim atas kekayaan budaya yang jelas-jelas milik bangsa. 

Sebelumnya, Malaysia pernah ngakuin Reog Ponorogo, Angklung, Tari Pendet, Wayang Kulit, Keris, Kuda Lumping sebagai milik mereka. Termasuk juga Rendang dan Lagu Rasa Sayange, yang akhirnya diakui sebagai kekayaan khas milik Indonesia.

Tak hanya berhenti disitu, persaingan Grab dan Go-Jek pun kemudian lebih tampak sebagai persaingan antara "anak muda swasta" Indonesia Vs Malaysia. 

Beberapa kali Go-Jek, bahkan melalui CEO-nya, Nadiem Makarim, mengeluarkan komentar pedas terhadap Grab yang dianggapnya hanya bisa meniru. "Layanan yang dari Malaysia itu, GrabBike, hanya bisa meniru. Bahkan warna helm dan jaketnya sama seperti kita", katanya.

Artinya, Go-Jek diciptakan bersama ide yang prinsipnya akan selalu dianggap usang setelah enam bulan sehingga harus terus-menerus menelurkan gagasan dan konsep baru, sementara Grab lebih tampak gagah karena supply dana dari investor yang melimpah. 

Dengan dana itu, Grab bisa menguntiti saingan bisnisnya sehingga ketika Go-Jek menciptakan sesuatu, maka Grab juga ikut membuat sesuatu yang mirip, dengan hanya bermodal "perbedaan nama dan istilah". Berbagai meme kerap muncul, sebagaimana bisa dilihat dari gambar di bawah:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun