Mereka, apapun kubunya, hanya menjadikan twitter sebagai tempat onani untuk mendapatkan ejakulasi. Hanya sebatas itu. Senang, enak ngata-ngatain orang atau kelompok tertentu, bangga saat menjadi tranding, dan mendapatkan respon luar biasa dari netizen sementara di dunia nyata, tak ada perubahan apa-apa. Itulah kenapa munculnya adu hastag yang kemudian dibalas dengan hastag tandingan hanyalah pelampiasan atas syahwat medsosiyah yang berlebihan. Hastag berbau politik hanya sebagai ajang asik-asikan. Alih-alih menyelesaikan masalah, ia justru menjadi sarana terbaik untuk semakin menguatkan polarisasi di arus bawah.
Akhirnya, apa yang terjadi akhir-akhir ini semakin menguatkan dugaan banyak orang tentang adanya pihak yang menunggangi. Ada penumpang gelap yang berusaha bermain dan memancing di air yang keruh. Kita tidak mungkin untuk secara jelas menyebutkan nama-nama atau kelompok tertentu, tapi setidaknya, kita punya preferensi untuk meletakkan siapa-siapa yang pantas untuk menjadi "tertuduh".
Munculnya permintaan untuk membubarkan Banser lalu diramaikan dengan hastag #BubarkanBanser membuat saya, dan mungkin sebagian pembaca, benar-benar bertanya. Apa hubungannya? Apa logikanya? Bagaimana sejarahnya? Hastag itu kemudian dilawan oleh #BanserUntukNegeri lalu berganti menjadi #BanserMaju1Barisan. Jika Gus Yaqut sudah mengetahui siapa yang menjadi dalang di baliknya, kita mungkin mempunyai jawaban masing-masing sesuai pengetahuan dan referensi kita.
Lamat-lamat terdengar keterlibatan sebuah keluarga klasik mantan penguasa untuk mengobok-obok Papua. Tertuduh yang sama atas memanasnya Partai Golkar menjelang Munas, katanya. Mungkin saja berkaitan atau tidak sama sekali. Tapi yang jelas, perbindahan Ibu Kota sudah resmi. Presiden sudah mengumumkan nama lokasinya tadi. Dan seperti biasa, isu kemudian menjadi tranding lagi. Begitulah, silih berganti.
Ngomong opo, to, JaI? Heuheu.
Salam
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua