Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anehnya Tagar #BubarkanBanser dan Menguatnya Polarisasi Melalui Perang Narasi

26 Agustus 2019   19:32 Diperbarui: 26 Agustus 2019   21:51 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak pernah sekalipun menjadi bagian dari NU secara struktural. Tak pernah menjadi anggota NU atau pun sayap-sayapnya: Ormasnya, "organisasi kemahasiswaannya", apalagi "partainya". Tapi, kalau boleh jujur, tuntutan #BUBARKANBANSER, kok, gak nyambung, ya? Kedengerannya aneh. Termasuk juga upaya untuk mengcounternya dengan hastag tandingan.

Apa maksudnya, sih?

Terserah mau dinilai seperti apa, tapi apa hubungannya #BUBARKANBANSER dengan kasus di Papua? Apa latar belakangnya? Bagaimana pula logikanya? Apa dosa sejarah Banser yang dilakukan di Papua sana? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu di pikiran dan belum menemukan jawaban. Saya minim informasi, soal ini. Mungkin pembaca ada yang mengerti dan sudi memberkan informasi.

Saya benar-benar bertanya soal ini sebab benar-benar tak paham dan belum menemukan alurnya. Runutan dan "silsilah" pertarungan Baser di Papua sana. Sebelumnya Banser memang dinyinyirin karena dianggap tak bisa ngapai-ngapain ketika klaim paling pancasilais dan paling NKRI kerap mereka kuasai, bahkan ada hoaks soal statement Gus Yaqut yang "tidak mau bergerak" karena tidak ada dana dari pemerintah, yang celakanya, itu dipercayai oleh sebagian orang. Bagi saya, itu soal perspektif dan bukan jawaban sebab belum ada yang menjelaskan.

Fair saja. Ketika ada kasus pembakaran bendera atau kasus pembubaran pengajian, dan dalam beberapa kasus lainnya, kadang Banser memang berlebihan. Terlalu over-reactive untuk hal-hal yang seharusnya bisa didiskusikan di warung kopi. Tapi dalam kasus ini pun, harus fair kita akui, bahwa satu poin tuntutan itu juga berlebihan dan tidak nyambung kecuali dijelaskan alasan faktualnya sebab Banser relatif diterima dan tak memiliki romantisme sejarah kelam di Papua. Jelas sekali, bahwa kita tak bisa mengeneralisir Banser hanya karena ada Abu Janda, yang norak itu, berseragam Banser dengan bangganya.

Selain itu, Barisan Ansor Serbaguna (Banser) adalah perangkat GP Ansor sebagai Badan Otonom PBNU. Kalau PBNU itu rumah, maka GP Ansor itu adalah halaman atau salah satu kamarnya. Artinya, kalau pun, andai kata, dan jikalau tuntutan itu dikabulkan (saya juga bingung oleh siapa?), harus berurusan dengan PBNU dulu sebagai pemilik rumah. Tentu saja hal itu tidak akan mudah karena berkaitan dengan kekuatan dan soal sejarah.

Perang Hastag di Twitter dan Menguatnya Polarisasi

Saat genderang Pilpres ditabuh, dunia twitter menjadi lapangan untuk adu kekuatan secara media dan menjadi representasi penguasaan Paslon tertentu di jagat medsos. Perang hastag menjadi sarana terbaik untuk mengangkat atau menjatuhkan. Maka, tidak aneh ketika selama gelaran Pilpres kemarin kita menikmati bagaimana sosok atau paslon tertentu dengan mudahnya disanjung dan dijadikan bahan nyinyiran. Tentu kita masih ingat bagaimana #UninstallJokowi pernah juga menduduki tranding topik dunia.

Satu sisi, pengaruh media berdampak pada dunia realita. Banyak gerakan di dunia nyata yang bermula dari hembusan media sosial. Seperti Tampang Boyolalinya Prabowo, misalnya. Tapi pada sisi yang lain, apa yang terjadi di Medsos tidaklah menjadi representasi yang tepat di dunia nyata. 

Buktinya? Beberapa waktu lalu, Jokowi begitu mudahnya diploncoin di dunia twitter, dibikinin hastag, lalu menjadi tranding. Tapi rupanya, hal itu tidak menjadi jaminan, sebab bagaimanapun, Jokowi-Maruf kemudian menjadi pemenang, terlepas dari kecurangan atau istilah "dimenangkan" yang muncul kemudian.

Artinya, ada pihak-pihak tertentu yang memang memiliki kecenderungan untuk hanya cukup menang dan berbahagia di dunia medsos sementara babak belur di dunia nyata. Apa yang mereka lakukan, sama sekali tak berdampak, bahkan meskipun menjadi tranding worldwide. Ini bisa dilihat semenjak Pilpres lalu, bagaimana perang tagar hampir selalu berubah, berganti sesuai dengan momentum dan kejadian yang dianggap sebagai "berkah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun