Tapi, mari kita hentikan membuat dikotomisasi dan simplifikasi, bahwa kalau tidak A berarti B, kalau bukan hitam berarti putih, dan kalau bukan kampret berarti harus cebong. Pola pikir semacam itu sangat berbahaya sebab akan membawa seseorang pada kubangan hidup yang penuh prejudice, menuduh, dan saling klaim.
Menuduh orang lain musuh hanya karena tidak mengikuti caranya, padahal sebenarnya memiliki pilihan politik yang sama. Orang yang tidak ikut-ikutan mencaci dan nyinyir dianggap lawan, padahal sama secara pilihan. Akan selalu ada orang yang tidak mau masuk terlalu dalam untuk memperbesar perbedaan, dan mereka memilih diam. Mereka mungkin sama secara pilihan, tapi tak ingin bertindak berlebihan apalagi masuk pada kubu-kubu yang saling bermusuhan.
Semudah itukah kita menuduh seseorang radikalis hanya karena kita memaksakan diri untuk mengaku nasionalis? Semudah itukah kita menuduh yang lain kafir dan murtad hanya karena ingin menunjukkan bahwa kita paling Islam? Klaim atas sesuatu begitu mudah dilakukan, itu pun disandarkan pada simplifikasi dan alasan yang, kadang, tidak masuk akal.
Menuduh yang dipaksakan akan merusak pikiran. Kalau ada seseorang yang dulunya mendukung Jokowi-JK, lalu pada Pilkada mendukung Anies-Sandi dan pada Pilpres lalu mendukung Jokowi-Maruf mau dituduh apa? Kalau ada yang dulu mendukung Prabowo-Hatta lalu memilih Ahok-Djarot dan Pilpres kemarin memilih Prabowo-Sandi mau dituduh apa juga? Cebong atau kampret? Atau cebong insaf dan kampret insaf? Itu belum termasuk pilihan partai politik dan calon legislatifnya yang mungkin saja tak linear. Sebab pasti ada yang memilih Jokowi-Maruf tapi calegnya memilih calon dari PKS, misalnya. Ada yang Pilpresnya memilih Prabowo-Sandi tapi calegnya memilih calon dari NasDem, misalnya. Bingung, kan?
Dus, setiap orang punya pilihan berdasarkan pertimbangannya masing-masing. Pilihan itu tidak statis. Ia bergerak dinamis. Itulah kenapa akan selalu ada perbedaan. Sama pilihan, bisa berbeda jalan. Sama jalan, mungkin beda pilihan. Jangankan orang lain, kita saja bisa berbeda pilihan dengan kita yang dulu karena berbagai macam alasan. Lalu apa yang perlu dipermasalahkan? Tak ada kecuali dalam tempurung otak kita ada syaraf yang sengaja dikomando untuk menuduh, memusuh, dan kerap melakukan simplifikasi serampangan. Benar, tak ada jaminan pilihan selalu linear dan konsisten.
Jangan terlalu serius, apalagi ngamuk-ngamuk.
Salam. Mustafa Afif
Tulisan ini sudah dimuat di : https://wp.me/pb2yOk-1b