Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Getah Getih Saja Kalian Risih

19 Juli 2019   18:15 Diperbarui: 19 Juli 2019   18:32 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah 11 bulan menghiasi salah satu titik pusat di Ibu Kota, Getah-Getih sudah dirubuhkan. Dulu, Anies Baswedan sudah menjelaskan, bahwa kemampuan bertahan karya seni anggitan bambu yang menempati salah satu tanah termahal di Indonesia itu, hanya sekitar 6 bulan sampai setahun. Jadi, wajar saja kalau dirubuhkan karena memang sudah keropos dan rapuh.

Yang agak kurang wajar itu adalah respon netizen yang berlebihan, termasuk yang kembali (dan lagi-lagi) mengaitkan itu dengan kepemimpinan Jakarta sebelum-sebelumnya. Kritik dan masukan, silahkan saja. Tapi masalahnya rasa tidak suka yang dominan terhadap Anies, sedari awal tetap bertahan. Maka, berbagai dalih yang dilontarkan menjadi tak proporsional.

Anies lalu dituduh pemimpin yang tak berpikir panjang. Membuat sampah dan bangkai. Buang-buang anggaran dan pemborosan. Hanya untuk bambu, budgetnya 550 juta dan sekarang sudah dirubuhkan. Mubadzir.

Perlu diketahui, bahwa sedari awal Getah-getih memang tak untuk dipermanenkan, makanya dipilihlah bambu sebagai salah satu kekayaan khas bangsa ini. Jadi sejak dari pembelian, pembuatan, dan pemasangan semuanya dibeli dan dikerjakan oleh saudara sendiri. Ia juga sebagai hiasan cantik untuk mendukung pelaksanaan Sea Games 2018 yang mewah, megah, dan 'gemah ripah loh jinawi' itu.

Getah-getih adalah sebuah karya seni. Maka ketika berbicara karya seni, ia tidak bisa dikalkulasi dengan kalkulator. Susah nyambungnya kalau karya seni diukur dengan angka-angka matematis dalam otak kita. Harga bukan jadi persoalan sebab ada rasa dan estetika disitu. Maka, bagi yang mempermasalahkan soal budget dan angka mestinya ia harus belajar menghargai dulu lukisan-lukisan sederhana yang harganya mahal. Perlu sering-sering bertemu dengan penjual batu akik, pelukis jalanan, penjual barang antik dan pusaka agar otak sedikit terbuka.

Oke, karya seni itu terbilang mahal. Tapi pernahkah kita menjumlah berapa ribu, mungkin saja berapa juta, wajah yang terpuaskan ketika melihat itu. Tak hanya melihat, tapi juga berfoto ria bersama teman dan keluarga. Saat Sea Games 2018 dulu, ada berapa bule-bule yang ikutan selfie dan bersenang ria menikmati karya seni itu. Unik dan khas!. Ia sudah menjadi bagian dari cerita dan pengalaman yang menyenangkan ketika berada di Ibu Kota, apalagi tempatnya berdekatan dengan Patung Selamat Datang, Bundaran HI.

Tapi, itu, kan pemborosan dan mubadzir!

Mari kita lihat, kalau mau berbicara ini. Kenapa tak ada teriak-teriakan dan ribut ketika Pemprov DKI membeli pohon plastik senilai 8 Miliar? Mubadzir, bukan? Justru saat Anies Baswedan menggunakannya untuk menghiasi kota, ia yang diolok-olok dan dihina sedemikian rupa. Setelah dijelaskan, barulah semuanya diam. Atau kalau mau berbicara mubadzir, pernahkah kritis terhadap uang yang sudah dibayarkan untuk membeli lahan RS Sumber Waras? Apa kabarnya itu uang?

Terus ada juga yang menghabiskan anggaran 18 Miliar sehari hanya untuk Apel Kebangsaan, kenapa tak diributkan oleh Anda yang kerap ngaku sebagai paling nasionalis dan mencintai negeri? Kenapa cuma Getah-getih saja lalu jadi risih?

Para pemuja kepemimpinan Jakarta yang telah lalu: yang dalam konteks nasional kerap menyuarakan rekonsiliasi dan perdamaian tapi di tingkat lokal, luka lama karena kekalahan masih dipiara dan dibiarkan bertahan. Agak aneh, memang. Tapi itulah kenyataan.

Tapi sejatinya, momentum Getah-getih hanyalah simbol untuk menyakiti yang berbeda. Simbol-simbol yang lain selalu dicari dan diharapkan terjadi agar bisa mencaci dan menghajar Anies Baswedan atau siapapun yang berkaitan dengannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun