Bisa dikatakan sebelum ada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, warga masyarakat sudah berada dikawasan itu.
Oleh karena itu, sangat bisa diterima oleh logika sehat jika masyarakat yang menempati kawasan itu menolak keras untuk pindah dari kawasan itu.
Hanya rakyat jelata dikawasan itu tidak berdaya menghadapi kekuasaan yang didukung oleh TNI, POLRI, Satpol PP dan lain sebagainya.
Pada saat penggusuran di kawasan yang mereka tempati, sebagian masyarakat yang bertahan, hanya bisa memasang spanduk dan berorasi menolak penggusuran.
Nasi Sudah Jadi Bubur
Sejatinya warga dikawasan itu tidak digusur, tetapi lokasi tempat mereka tinggal yang amat bersejarah di “revitalisasi”, dibangun apartemen sederhana seperti “apartemen” yang sudah dibangun disekitar tempat mereka tinggal.
Terasa sangat tidak adil, rakyat jelata yang sudah turun-temurun menempati kawasan itu diratakan tempat tinggal dan tempat usaha mereka, dan mereka “digusur” dan dipindahkan di tempat yang amat jauh yaitu di “Rumah Susun Marunda”, Jakarta Utara, dan lebih miris lagi sebagian dipindahkan ke “Rumah Susun Rawa Bebek”, Jakarta Timur. Sebagian lain belum memperoleh Rusun, dan harus mencari tempat berlindung.
Sementara “apartemen mewah dua tower” yang dibangun tidak jauh dari kawasan mereka tinggal, tetap berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah ketidakadilan dalam penggusuran.
Mulai hari ini, mereka yang digusur, memulai hidup baru yang pasti lebih susah dari sebelum mereka digusur.
Pertama, mereka tercerabut dari akar budaya, sebagai nelayan dan pedagang kecil yang sejak kecil tinggal di kawasan Pasar Ikan. Mereka harus beradaptasi tinggal di rumah susun, dan setiap bulan harus membayar seway yang tidak pernah mereka lakukan sejak lahir.
Kedua, kehilangan lapangan pekerjaan. Mereka menganggur setelah digusur, dan entah siapa yang bisa menolong mereka untuk mendapat tempat berusaha sebagai sarana untuk mendapat uang. Padahal setiap hari harus makan dan menghidupi keluarga, sementara sewaktu digusur tidak mendapat uang kerohiman, ganti rugi apalagi ganti untung, sehingga tidak ada uang untuk menghidupi keluarga selama masa transisi pasca penggusuran.