Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penggusuran Warga “Pasar Ikan” Membuat Saya Menangis

11 April 2016   13:47 Diperbarui: 11 April 2016   15:28 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Musni Umar di TKP Penggusuran Pasar Ikan (11/4/2016)"][/caption]

Saya bersyukur kepada Allah, karena subuh hari ini tanggal 11 April 2016, pada saat akan dilakukan penggusuran warga di kawasan Kampung Bahari Pasar Ikan, Jakarta Utara, saya berada di kawasan itu dan menyaksikan dengan mata kepala saat penggusuran, dan menjadi narasumber TV ONE di lokasi tempat penggusuran.

Ketika saya tiba di lokasi sekitar pukul 05.15 wib, jalan masuk ke Pasar Ikan sudah ditutup. Untung saja mobil TV ONE bisa masuk ke lokasi.  Di Tempat Kejadian Perkara (TKP), sekitar 4.000 pasukan gabungan dari TNI, POLRI, Satpol PP, aparat pemerintah Provinsi DKI, Kota, Kecamatan dan Keluarahan sudah memenuhi lokasi.

Pada pukul 06.00 pagi pasukan gabungan sudah apel siaga, dan setelah itu eskavator langsung beraksi menggusur lokasi.  Dalam waktu singkat lokasi pasar ikan dan tempat tinggal warga menjadi rata dengan tanah. 

Ditengah eskavator beraksi menggusur pasar ikan, tempat usaha warga (toko) dan tempat tinggal warga, saya diwawancara TV ONE dan disiarkan secara langsung. 

Hati saya ketika diwawancara tergetar, saya menangis dan nyaris tidak bisa keluar suara. Saya merasakan penderitaan rakyat jelata yang digusur dan tidak berdaya menghadapi kekuasaan. 


Sejarah Panjang Pasar Ikan

Menurut Situs Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta bahwa Pasar Ikan yang dulunya disebut Vishmarkt, dibangun tahun 1631 di sebelah timur sungai Ciliwung. Karena pelebaran taman  di depan benteng,  pasar itu dipindahkan ke sebelah barat sungai Ciliwung tahun 1636.

Dengan demikian, Pasar Ikan yang kini terletak di Kampung Bahari, Penjaringan Jakarta Utara, mempunyai sejarah yang sangat panjang, yang menurut saya harus dilestarikan sebagai obyek wisata. 

Sejarah yang amat panjang tentang Pasar Ikan yang sebut Belanda “Vishmarkt”, sudah tentu warga Pasar Ikan sudah turun-temurun menempati kawasan yang amat bersejarah itu.

Maka kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa mereka adalah warga yang “liar” yang menempati kawasan milik pemerintah DKI, merupakan kesalahan besar, sebab mustahil ada pasar tanpa ada warga masyarakat.

Bisa dikatakan sebelum ada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, warga masyarakat sudah berada dikawasan itu.

Oleh karena itu, sangat bisa diterima oleh logika sehat jika masyarakat yang menempati kawasan itu menolak keras untuk pindah dari kawasan itu.

Hanya rakyat jelata dikawasan itu tidak berdaya menghadapi kekuasaan yang didukung oleh TNI, POLRI, Satpol PP dan lain sebagainya. 

Pada saat penggusuran di kawasan yang mereka tempati, sebagian masyarakat yang bertahan, hanya bisa memasang spanduk dan berorasi menolak penggusuran.

Nasi Sudah Jadi Bubur

Sejatinya warga dikawasan itu tidak digusur, tetapi lokasi tempat mereka tinggal yang amat bersejarah di “revitalisasi”, dibangun apartemen sederhana seperti “apartemen” yang sudah dibangun disekitar tempat mereka tinggal.

Terasa sangat tidak adil, rakyat jelata yang sudah turun-temurun menempati kawasan itu diratakan tempat tinggal dan tempat usaha mereka, dan mereka “digusur” dan dipindahkan di tempat yang amat jauh yaitu di “Rumah Susun Marunda”, Jakarta Utara, dan lebih miris lagi sebagian dipindahkan ke “Rumah Susun Rawa Bebek”, Jakarta Timur. Sebagian lain belum memperoleh Rusun, dan harus mencari tempat berlindung.

Sementara “apartemen mewah dua tower” yang dibangun tidak jauh dari kawasan mereka tinggal, tetap berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah ketidakadilan dalam penggusuran.

Mulai hari ini, mereka yang digusur, memulai hidup baru yang pasti lebih susah dari sebelum mereka digusur. 

Pertama, mereka tercerabut dari akar budaya, sebagai nelayan dan pedagang kecil yang sejak kecil tinggal di kawasan Pasar Ikan. Mereka harus beradaptasi tinggal di rumah susun, dan setiap bulan harus membayar seway yang tidak pernah mereka lakukan sejak lahir.

Kedua, kehilangan lapangan pekerjaan. Mereka menganggur setelah digusur, dan entah siapa yang bisa menolong mereka untuk mendapat tempat berusaha sebagai sarana untuk mendapat uang.  Padahal setiap hari harus makan dan menghidupi keluarga, sementara sewaktu digusur tidak mendapat uang kerohiman, ganti rugi apalagi ganti untung, sehingga tidak ada uang untuk menghidupi keluarga selama masa transisi pasca penggusuran.

Ketiga, kehilangan mata pencaharian utama sebagai nelayan.  Mereka mau melaut, tetapi tempat tinggal mereka cukup jauh dari tempat kapal atau perahu mereka bersandar, sehingga memerlukan biaya transportasi.  Belum lagi mereka memikirkan, keselamatan perahu atau kapal mereka, karena ketika mereka pindah tempat tinggal, siapa akan menjaga keselamatan kapal atau perahu mereka.

Keempat, pendidikan anak-anak mereka.  Pemerintah menjanjikan akan membantu perpindahan anak-anak mereka ke sekolah yang baru, tetapi tidak semudah dalam praktik, apalagi anak-anak mereka harus beradaptasi ditempat sekolah yang baru.

Kelima, kelangsungan hidup keluarga mereka.

Dengan demikian, penggusuran yang dilakukan hari ini dan berbagai penggusuran lainnya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mudaratnya bagi rakyat jelata jauh lebih besar, ketimbang manfaatnya.

Semoga Allah memberi kesabaran, ketabahan dan jalan keluar bagi mereka. Amiin

Allahu a’lam bisshawab   

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun