Mohon tunggu...
Muslihudin El Hasanudin
Muslihudin El Hasanudin Mohon Tunggu...

journalist and more

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mbah Karjo: Dalam Keterbatasan Selalu Ada Celah Berbuat Kebaikan

8 November 2012   06:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:46 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_222039" align="aligncenter" width="576" caption="foto: dok. pribadi"][/caption]

Seluruh rambut kepalanya telah memutih. Badannya kurus dan mukanya tirus. Janggutnya dibiarkan tumbuh takberaturan Tapi jangan anggap remeh, pendengarannya masih sangat tajam, dan  semangat hidupnya masih membara. Anda bisa bayangkan di usianya yang telah menginjak 79 tahun setiap hari dia harus mengayuh sepeda dari rumahnya di Jl. Puspanjolo Timur IV No 103 ke Pasar Prembaen di bilangan Depok Semarang. Terbayang bagaimana setiap hari ia harus berjibaku  terik matahari dan lalu lalang deru kendaraan bermotor. Ya, dialah Soekarjo. Lelaki kelahiran Kebumen tahun 1932 ini menyedot perhatian publik media karena secara tidak sengaja masuk di acara reality show salah satu televisi swasta. Dalam tangkapan kamera Mbah Karjo menolong bocah yang minta dibelikan bendera merah putih miliknya yang telah sobek. Karena iba dan jiwa patriotismenya yang terusik, Mbah Karjo mengajak dan membelikan anak kecil itu bendera ke Pasar Kranggan yang tidak jauh dari tempat ia jualan sepatu bekas di Jl. Kelengan Kecil Semarang. Kejadian semacam itu bukan kali pertama ia lakukan. Kepada saya ia bercerita sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang telah ditolongnya. Rumahnya dulu di Kampung Jayengaten (kini Hotel Gumaya) bahkan sering dijadikan jujugan banyak orang. Pernah suatu saat ada penjual kardus yang ditemuinya di jalan. Masih muda sebenarnya, tapi karena ia bercerita kehabisan uang sebab kardusnya basah kena hujan, dengan kepabakan ia ajak pemuda itu ke rumahnya. Diberinya makan, minum, dan uang semampunya. Para pengamen jalanan, pedagang keliling, orang tersesat, kena musibah, atau sekedar menumpang hidup banyak yang telah menerima kebaikan Mbah Karjo. Ia bukan orang kaya, bahkan mungkin sama miskin dengan orang yang ditolongnya, tetapi ia ikhlas menolong. Kesediaan dan kegemarannya menolong didasari pengalaman hidup yang sungguh memilukan. Dahulu saat perang kemerdekaan Mbah Kardjo dan keluarganya sering ditolong orang. Pernah saat terjadi agresi militer Belanda ia dan keluarganya harus mengungsi ke tempat lain. Tak ada apapun yang dibawa, hanya kain yang melekat di tubuhnya. Beruntung ada seorang lurah yang berbaik hati, merelakan rumah dan segala hasil pekarangannya dimanfaatkan oleh para pengungsi-termasuk keluarga Mbah Kardjo. Sejak kecil Mbah Kardjo sudah ditinggal ayahnya. Bahkan sampai sekarang ia tidak bisa membayangkan seperti apa wajah ayahnya. Konon ayahnya bekerja pada Belanda. Ibunya pernah mengajak sekali menemuai ayahnya. " Waktu itu saya masih kecil. Saya diajak ke Stasiun Kebumen. Sampai di sana kami berdiri di pinggir rel. Ketika ada kereta lewat, saya disuruh melambaikan tangan. Kata ibu saya, Bapak ada dalam kereta itu" cerita Mbah kardjo Parau. Mbah Kardjo tak pernah menyalahkan siapapun atas nasibnya. Dia bersyukur bisa hidup sampai sekarang. " Saya sangat beruntung. Nyawa saya ini nyawa saringan. Zaman perang, saya diberondong peswat pernah, mitraliur, meriam juga pernah. Saya punya kawan, lha wong ada mitraliur saya suruh taiarap kok malah berdiri. Ya sudah pelurunya angrem di dadanya. Alhamdulillah Gusti Allah masih melindungi saya" certitanya. Kini zaman telah merdeka, tapi Mbah Kardjo belum sepenuhnya merdeka. Diusianya yang telah senja, dia masih harus berjuang banting tulang menghidupi keluarga. Takkenal istilah pension. Setiap pagi ia tetap dasar menggelar dagangannya berupa barang-barang loak. Ada sepatu, sandal, atau barang bekas lain yang menurut saya jauh dari nilai ekonomis. " Ya kadang dapat uang lima ribu, tujuh ribu. Tapi kalau sepi ya tidak dapat uang sama sekali alias blong" cerita Mbah Kardjo. Ya itulah hidup yang harus dijalani Mbah Kardjo. Menjadi tua dan tanpa kebanggaan hidup. Tak punya pekerjaan yang menjanjikan apalagi uang pension. Anak-anaknya sebagian sudah berkeluarga, dan hidup dengan dunianya masing-masing. Mbah Kardjo tak mau mengusik mereka. "Untuk hidup mereka masih kurang. Apalagi kalau ada saya" papar Mbah Kardjo bijak. Hidup Mbah Karjo memang penuh keprihatinan. Apalagi kini istrinya juga tergolek lemah tak berdaya akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Namun ia tak pernah patah arang. Sorot matanya tak sedikitpun menguarkan iba dan belas kasih orang. Terima kasih Mbah Karjo. Engkau telah memberi inspirasi bahwa seberat apapun hidup harus diperjuangkan. Bahwa dalam keterbatasan masih ada celah dan kesempatan untuk berbuat baik dengan sesama. Engkaulah pahlawan sesungguhnya. (din)

13523856171781489076
13523856171781489076

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun