Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law, Omnibus Serba Baik Kelas Pekerja

27 Maret 2020   11:44 Diperbarui: 27 Maret 2020   11:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Kantor DPRD Kabupaten Lombok Timur. Cred. Guruh Aprianto (Local Guide Google)

Wacana Omnibus Law (OL) sudah bergulir hampir setengah tahun. Meski ditunda karena kondisi Indonesia yang sedang berjuang memutus penyebaran virus Corona (Covid-19), diskusi terkait OL masih mewarnai sebagian besar dunia bisnis (pengusaha, pekerja dan stakeholder perundang-undangan) negeri pertiwi.

Omnibus Law diwacanakan Joko Widodo di pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia (RI). Tepatnya di 20 Oktober tahun lalu. Selanjutnya, Jokowi kerap menyinggung ulang wacana ini, di berbagai kesempatan.

Yang terbaru, Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) di Munas mereka yang ke-V, menjadikan bahasan OL sebagai agenda utama mereka.


Armudji, Ketua Umum ADEKSI, menyatakan wacana terkait OL berhubungan erat dengan fungsi ADEKSI. Yaitu, segala pembahasan terkait peraturan-peraturan daerah. Demikian pernyataan tertulisnya, di Munas yang diselenggarakan di Mataram Lombok, 10 sampai 11 Maret 2020 lalu.

Apa itu Omnibus Law?

Sekadar mengingatkan kembali, Omnibus  sejatinya salah satu kata dalam Bahasa Latin. Kata 'omnis' yang berarti 'banyak'. Wacana OL, idealnya ingin memberlakukan pengertian kata ini, menjadi payung hukum baru di Indonesia, serta berlaku di banyak sektor. Bisa juga dengan kata lain, mencakup semua peraturan.

Beberapa frase sejenis, sebenarnya sudah dipraktekkan, salah satunya Layanan Satu Atap atau Satap. Untuk OL, muncul 'julukan' baru, yaitu undang-undang sapu jagad. Tentu dengan terminologi bahasa yang sama, dimana cukup dengan satu undang-undang saja, semua regulasi telah termaktub di sana.

Dua sisi Omnibus Law, Terang atau Gelap?

Ulasan mengenai OL, di banyak rujukan artikel, umumnya mengenai tiga hal. Pertama, RUU Cipta Lapangan Kerja. Di salah satu artikel yang mengulas RUU ini, nantinya akan ada 74 UU terkait yang 'terberangus' atau tak lagi berlaku. Angka 74 ini diutarakan sendiri oleh pemerintahan presiden Jokowi, sejak awal mewacanakan hukum sapu jagad ini.

Mengapa 74 UU tersebut tak berlaku lagi? OL yang ditargetkan menjadi satu-satunya hukum yang berlaku, memang akan mengamandemen semua hukum lain yang bertema atau memayungi hal yang sama.

Kedua, RUU Perpajakan. Ketiga, RUU Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM). Di OL sendiri, masih ada enam aturan substansi lainnya, diantaranya yaitu; penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi.

DPR RI sendiri, mulai melakukan pembahasan terkait wacana OL ini, sejak Rabu 12 Februari lalu. Di satu sisi, tiga unsur substansi OL diataslah yang kerap diperbincangkan, juga mulai menimbulkan gelombang demo. Umumnya dilakukan oleh para kelas pekerja.

Mengapa ditolak para kelas pekerja?

Kembali ke deretan referensi rujukan, bagian-bagian dari RUU Cipta Kerja yang kerap di pertanyakan, diantaranya;

Pertama, kemudahan pengusaha untuk mengangkat dan memberhentikan pekerja. Di bagian ini, pekerja menjadi kurang memiliki nilai tawar di perusahaan. Tak peduli latar pendidikan, seorang pekerja harus siap melakukan job desc sapu jagad, bahkan jauh di luar kemampuan akademik yang dimiliki. Kondisi ini menjadi keharusan, jika masih ingin dihargai perusahaan.

Kedua, kemudahan proses perijinan Tenaga Kerja Asing. Di sini -- kita di Indonesia, lekat dengan pemeo, 'gaji bule' yang seringkali lebih tinggi, hanya karena mereka bule (baca: TKA). Sementara di satu sisi, banyak pula SDM ber-ID Indonesia, yang kemampuannya sebenarnya sama rata dengan para TKA ini.

Ketiga, sistem pengupahan yang berbasis jam kerja efektif. Di bagian ini, beresiko menciptakan iklim saling tidak percaya antara pengusaha dan pekerja. Pekerja merasa sudah memaksimalkan 8 jam kerja umumnya, namun perusahaan masih saja selalu merasa pekerja kurang produktif.

Target Ideal Penerapan Omnibus Law

Pemerintahan presiden Jokowi sendiri memandang optimis usaha membidani kelahiran OL ini. Dari salah satu referensi, bahkan diyakini akan bisa meredam gejolak ekonomi global. Sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi sampai di angka 6 persen.

Setidaknya inilah yang dinyatakan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan. Sri Mulyani menyebutkan, bahwa pertumbuhan konsumsi Indonesia sedikit di bawah 5 persen. Lalu, pertumbuhan investasi di angka 4,06 persen. Keduanya terdata di akhir kuartal tahun 2019 lalu.

Dari menteri lainnya, yaitu Menteri Koordinator dan Perekonomian Darmin Nasution, menyebutkan kemudahan berusaha di Indonesia atau Ease of Doing Business (EODB) mengalami perbaikan peringkat secara perlahan. Yang tadinya di peringkat 106 dunia per tahun 2016 lalu, kini di peringkat ke-91.

Catatan positif di sisi ekonomi dari dua menteri ini, idealnya menjadi lebih baik lagi. Apalagi jika semua nilai positif dari pemberlakuan OL, bisa dimaksimalkan pemerintah, tentu dengan menekan nilai-nilai negatif yang paling merugikan para kelas pekerja.

Bagaimana pun, ketika kesejahteraan kelas pekerja sudah tercapai, tentu akan membuka lebar kesempatan serba menguntungkan bagi para pengusaha. Wallohu'alam bisshowab.

*Selong 27 Maret 2020 - Ditulis ulang dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun