Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Guru - M Musa Hasyim

Guru PPKn yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Gencatan Senjata di Korut Berhasil tapi di Palestina Gagal?

22 Mei 2021   19:18 Diperbarui: 22 Mei 2021   19:30 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arak-arakan klaim kemenangan Palestina atas Israel. Sumber: AP Photo/Hassan Ammar melalui Kompas.com

Ribuan rakyat Palestina memadati sepanjang jalur Gaza Jumat (21/05) atas klaim kemenangan melawan Israel. Rakyat merasa perjuangan mereka selama berhari-hari terbayar sudah. Sambil membawa atribut khas Palestina, mereka memberi pose V di jari-jemari sebagai tanda kemenangan. 

Pasalnya, rencana penggusuran pemukiman Palestina di Sheikh Jarrah oleh tentara Israel berhasil digagalkan menyusul gencatan senjata yang diserukan oleh Israel. 

Sebelum membahas soal gencatan senjata, apa benar Palestina telah menang dari Israel? Sementara ratusan nyawa di pihak Palestina tidak sebanding dengan puluhan korban jiwa di sisi Israel. 

Jumlah pasti kerugian di masing-masing pihak tidak dipublikasikan sehingga kita tidak akan pernah atau bisa tahu siapa sebenarnya pemenang dari ketegangan antara Israel dengan Palestina (saya mungkin lebih suka menyebutnya Hamas) selama sekitar 11 hari ini.

Lupakan soal siapa pemenang dan siapa yang kalah, mari bahas soal gencatan senjata yang katanya didengungkan oleh tentara Israel. Menurut berita yang beredar, Israel katanya melakukan gencatan senjata setelah bermediasi dengan Mesir. Sementara itu, AS mempertegas supaya meski gencatan senjata, Israel perlu terus mempertahankan teknologi militer Iron Dome-nya supaya rakyat mereka aman dari serangan roket milik Hamas.

Namun gencatan senjata hanya manis di mulut saja. Pasalnya, beberapa waktu setelah klaim kemenangan dari Hamas digelar di Gaza, terjadi bentrokan antara warga sipil dengan polisi Israel di kompleks Masjid Al Aqsa. 

Bentrokan ini membuat polisi Israel harus menyemprotkan gas air mata, persis seperti yang terjadi pada awal mula konflik atau ketegangan selama 11 hari lamanya di mana saat itu terjadi juga bentrokan di kompleks Masjid Al Aqsa.

Di sisi lain, pihak Israel mengaku bahwa pihak Palestina yang memulai terlebih dulu atas ketegangan dengan melempar batu ke sisi Israel. Entah kenapa, saya justru takut dari hal sepele muncul lagi perang-perang lainnya.

Kenapa saya sebut gencatan senjata di Gaza gagal? Karena pihak Hamas katanya akan terus meningkatkan kemampuan untuk melawan begitu pula dengan Israel. Mereka berdua bagai kucing dan anjing, tikus dan kucing, atau serigala hitam dan serigala putih. Rasa curiga di masing-masing negara membuat kedua negara akan sulit menciptakan kedamaian.

Baca juga: Jarang Diketahui, Ini Sebenarnya Penduduk Asli Wilayah Palestina-Israel, Bukan Keduanya tapi...

Lantas kenapa kita perlu belajar dari Korut? Korut memang sedang melakukan gencatan senjata dengan Korsel, sehingga tidak ada serang-menyerang seseram Israel dengan Palestina. 

Dibangunnya Zona Demiliterisasi Korea(DMZ) membuat kedua negara sedikit lebih stabil, meski kadang ada bumbu-bumbu pertikaian antara tentara Korut dengan Korsel, namun tidak sampai separah pertikaian Israel dengan Palestina. 

Korban dan kerugian dari ketegangan Korut dan Korsel pun tidak sedahsyat Israel dan Palestina. Hanya saja, sesekali Korut pamer kekuatan nuklir di laut tapi tidak sampai meledakkan ke wilayah Korsel. 

Korut hanya memakai gertakan sambal saja, sementara antara Palestina dan Israel sudah menjadi zona perang sungguhan, kapan saja bisa saja terjadi perang dan perang lagi.

Alasan lainnya, wilayah Korut hanya satu dan pemimpin mereka juga satu. Tidak ada oposisi yang berani berbicara lantang melawan kekuasaan keluarga Kim Jong Un. Bukan berarti saya mendukung keotoriteran Korut, hanya saja satu kepemimpinan akan lebih mudah mengakomodasi rakyatnya ketimbang banyak kepemimpinan atau oposisi yang saling menyalahkan. Ini sama seperti yang terjadi di Suriah, Yaman, dan Libya. 

Sedangkan di Palestina, wilayah mereka terbagi menjaid dua, antara Gaza dan Tepi Barat. Keduanya berjarak cukup jauh sehingga baik warga Gaza atau Tepi Barat sedikit tidak terkoneksi. Ditambah lagi Gaza memiliki sosok kepemimpinan Hamas sedangkan Tepi Barat memiliki sosok kepemimpinan Fatah. Dualisme ini tentu saja menghambat perdamaian. Kadang saya berpikir, kenapa tidak dibuat saja Negara Gaza dan Negara Tepi Barat (sama seperti Korut dengan Korsel) jika kedunya tidak atau enggan bersatu begitu pula dengan negara-negara Timteng yang masih konflik sampai saat ini (ini hanya satir yah!).

Sedangkan meski Korut dan Korsel sering berseteru, keduanya berasal dari nenek moyang yang sama dan keduanya jelas-jelas memiliki kepemimpinan masing-masing dan negara atau kebangsaan yang berbeda. 

Israel dan Palestina memiliki nenek moyang yang berbeda, keduanya saling klaim siapa penghuni asal negeri mereka. Ditambah, Palestina memiliki dualisme kepemimpinan dalam satu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun