Pernahkah kita secara kebetulan membaca suatu berita yang sama persis sampaI pada titik komanya? Pernahkah kita membaca berita kontroversi dan top trending namun isi tidak terlalu penting sebagai infomasi publik? Fakta seperti ini akhir akhir ini lebih sering kita jumpai.
Link berita degan judul menarik tapi isinya sama tiba-tiba muncul di berbagai WhatsApp Group dan media sosial tanpa kendali. Jika ditelisik lebih dalam, isinyapun kadang jauh dari bermutu apalagi bermanfaat dan hanya meributkan masalah pribadi orang lain yang semestinya tidak perlu dibicarakan dan memandang seseoang hanya dari satu sudut pandang subyektif tanpa memberikan ruang yang sama dan berimbang.
Inilah fenomena menjamurnya media online yang tidak diimbangi dengan kemampuan dan integritas sumberdaya manusia yang memadai para awaknya, sehingga begitu mudah terseret dalam arus kepentingan yang membuat media menjadi kehilangan ruh sebagai bahan bacaan yang informatif sekaligus edukatif. Suguhan berita menjadi kering tanpa idealisme dan sarat dengan kepentingan.
Sebagai contoh pemberitaan seputar perseteruan antara eksekutif dan lagislatif di kabupaten Bondowoso yang selama beberapa bulan terakhir selalu menghiasi lini masa media sosial dan di ekpos nyaris secara bersamaan di beberapa media online.
Tak jarang kita jumpai pemberitaan dari setidaknya dua bahkan sampai tiga media online yang isinya sama persis sampai titik komanya (kloning). Pihak wartawan begitu bebas menanggalkan etika dan pihak redaktur tidak melakukan koreksi pra tayang sama sekali.
Alhasil masyarakat disuguhi copy paste hangat yang sengaja di reproduksi secara berulang untuk topik yang sama. Pemberitaan terasa beraroma konspiratif, tidak berimbang dan menyudutkan salah satu pihak.
Bahkan dalam beberapa edisi nampak terindikasi berisi informasi manipulatif karena disuguhkan secara sepihak tanpa proses klarifikasi yang memadai (Cover Both Side).
Dalam dunia kerja tentu ada etika profesi, dalam dunia jurnalistik pun etika tersebut berlaku sebagai etika jurnalistik. Untuk sedikit memperjelas tentang etika jurnalistik, mari kembali kita ingat teori dan beberapa poin penting yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang jurnalis:
- Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
- Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
- Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
- Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
- Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
- Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen.
- Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
- Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
- Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
- Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya.
- Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
- Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.
- Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
- Jurnalis dilarang menerima sogokan.
- Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
- Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
- Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
- Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Seorang Jurnalis harus memberikan informasi utuh dan akurat kepada masyarakat karena mereka berperan sebagai penyedia informasi publik, seorang jurnalis juga harus menghindari perbuatan yang jelas-jelas melanggar etika.
Namun banyak fakta yang kita temukan sejak beralihnya trend media cetak menjadi online bukan hanya konvergensi isi beritanya saja yang menjadi online, namun kemudahan dan kebebasan cenderung mendegradasi nilai-nilai idealisme dan profesionalisme pelaku pers.
Yang berkembang tanpa kendali justru media copy paste bahkan cloning secara utuh karya orang lain. Dalam beberapa kasus jika diteliti lebih jauh sebuah tulisan terkesan tak lagi bisa dikatagorikan sebagai karya jurnalistik karena kegagalannya dalam menjaga independensi, keberimbangan (cover both side), menebar kebencian, prasangka negatif dan mencampur adukkan antara opini pribadi dan fakta.
Inilah fenomena yang terjadi pada media daring saat ini, kemudahan dan fasilitas yang tersedia turut memancing beberapa pihak untuk membuat blog dan portal berita dengan dorongan berbagai kepentingan.
Bahkan tak jarang kita temui portal berita yang nyaris seratus persen konten beritanya hanya menjadi alat kepentingan dan corong pemiliknya. Menjadi panggung pencitraan sekaligus menjadi media yang sangat efektif untuk men-downgarade pihak yang dianggap lawan.
“We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning” . Tepat apa yang dikatakan sosiolog asal Perancis, Jean Baudrillard. Kita lagi berada dalam kepungan arus informasi namun lebih banyak yang tidak bermanfaat.
Menyadari pengaruh media sebagai instrumen yang sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik, tak jarang beberapa pihak kemudian menggunakan media untuk mereproduksi konten informasi yang menyudutkan dengan target dan tujuan tertentu.
Festifalisasi sebuah kasus dengan duplikasi secara berulang secara terus menerus akan mempengaruhi dan menggiring opini publik, meskipun secara substansi lahir dari pemikiran yang sangat subyektif dan kebenarannya belum benar-benar teruji. Akibatnya sebuah informasi keliru jika ditayangkan secara masif dan trus menerus akan menjadi seolah benar.
“Siapa pun yang mengendalikan media akan menguasai pikiran masyarakat.” Itulah kalimat yang sering kita dengar, bagaimana power media yang sangat besar mampu mengubah dunia.
Saat ini distorsi dan manipulasi konten media tidak lepas dari peran propaganda dan kepentingan. Lantas siapa yang bisa menjalankan fungsi kontrol terhadap media? Kita lah, masyarakat yang harus bersikap kritis, membaca dengan cerdas memilah dan memilih. Mana media yang profesional menjalankan peran mana yang bekerja tanpa etika.... (Munir-Pemerhati Media)