Pembagian ilmu juga dapat ditinjau dari cara perolehannya. Dalam tradisi Barat modern, ilmu diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan rasionalitas kritis. Namun, dalam perspektif Islam, sumber ilmu lebih luas karena mencakup indera, akal, intuisi, dan wahyu. Al-Attas (1995) menegaskan bahwa ilmu dalam Islam bersifat hierarkis, di mana pengetahuan wahyu menempati posisi tertinggi sebagai sumber kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peradaban memiliki cara pandang berbeda dalam memahami ilmu dan membagi wilayah kajiannya. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap berbagai pembagian ilmu membantu kita lebih arif dalam menempatkan pengetahuan dalam kerangka yang utuh dan seimbang.
Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
1. Ontologi (Hakikat Ilmu)
Ontologi membahas tentang hakikat keberadaan, yaitu apa yang menjadi objek kajian ilmu. Pertanyaan utama yang muncul adalah “apa yang bisa diketahui” dan “apa hakikat sesuatu yang dikaji.” Dalam konteks filsafat ilmu, ontologi menjelaskan obyek material (apa yang dikaji) dan obyek formal (cara mengkajinya). Misalnya, biologi memiliki objek material berupa makhluk hidup, sementara objek formalnya adalah bagaimana makhluk hidup itu dipelajari secara sistematis. Menurut Kaelan (2020), ontologi ilmu sangat penting karena membantu ilmuwan menyadari batas-batas objek kajiannya, sehingga tidak mencampurkan ranah yang berbeda. Tanpa pemahaman ontologis, kajian ilmu akan kabur dan kehilangan arah.
2. Epistemologi (Cara Memperoleh Ilmu)
Epistemologi adalah cabang filsafat ilmu yang membahas cara, metode, dan validitas dalam memperoleh pengetahuan. Pertanyaan utama yang muncul adalah “bagaimana pengetahuan diperoleh” dan “apa kriteria kebenaran pengetahuan.” Dalam tradisi ilmu modern, epistemologi banyak menekankan metode ilmiah: observasi, hipotesis, eksperimen, verifikasi, hingga falsifikasi. Karl Popper (2002) menekankan pentingnya falsifikasi, yaitu suatu teori dianggap ilmiah jika dapat diuji dan berpotensi dibantah. Sementara itu, dalam tradisi Islam, epistemologi tidak hanya bersumber pada akal dan pengalaman empiris, tetapi juga mencakup wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi (Al-Attas, 1995). Dengan demikian, epistemologi memberikan kerangka kerja yang memungkinkan ilmu berkembang secara sahih, konsisten, dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Aksiologi (Nilai dan Manfaat Ilmu)
Aksiologi membahas pertanyaan “untuk apa ilmu digunakan” dan “apa nilai dari ilmu bagi kehidupan manusia.” Dalam hal ini, filsafat ilmu menekankan bahwa ilmu tidaklah netral, melainkan selalu terkait dengan nilai, etika, dan tujuan penggunaannya. Misalnya, penemuan energi nuklir bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik yang menyejahterakan umat manusia, tetapi juga dapat digunakan untuk senjata pemusnah massal. Menurut Siregar (2021), aksiologi menjadi penting agar perkembangan ilmu selalu diarahkan pada kemaslahatan manusia, bukan pada kerusakan atau ketidakadilan. Dalam perspektif Islam, ilmu memiliki nilai ibadah apabila digunakan untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan sesuai dengan maqashid syariah. Oleh karena itu, aksiologi menuntut adanya tanggung jawab moral dan sosial dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Relevansi Filsafat Ilmu dalam Kehidupan
Filsafat ilmu memiliki relevansi besar dalam dunia penelitian dan akademik. Seorang peneliti tidak hanya dituntut untuk menguasai metode penelitian, tetapi juga memahami asumsi-asumsi dasar yang melandasi metode tersebut. Misalnya, penelitian kuantitatif didasarkan pada pandangan ontologis bahwa realitas bersifat objektif dan dapat diukur, sementara penelitian kualitatif berpijak pada asumsi bahwa realitas bersifat subjektif dan dipahami melalui makna. Menurut Creswell (2018), pemahaman filsafat ilmu membantu peneliti menentukan pendekatan yang tepat agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, filsafat ilmu berperan sebagai fondasi konseptual yang menuntun penelitian pada arah yang benar.