Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wajah Baru Polri: 6 Langkah Mendesak untuk Reformasi & Memulihkan Kepercayaan

29 September 2025   22:46 Diperbarui: 30 September 2025   12:44 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah gejolak sosial dan dinamika demokrasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kini berada di persimpangan jalan paling krusial sejak era Reformasi 1998. Krisis kepercayaan publik telah mencapai puncaknya, terangkum dalam adagium pahit di media sosial: "No Viral, No Justice". Fenomena ini, ditambah serangkaian skandal besar yang mengguncang institusi, menjadi bukti nyata bahwa reformasi yang dimulai lebih dari dua dekade lalu belum tuntas. Alih-alih bergerak maju, RUU Polri terbaru justru mengancam untuk menarik institusi ini kembali ke era kekuasaan absolut, menjadikannya "lembaga super" (superbody) yang kebal pengawasan. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah reformasi diperlukan, tetapi bagaimana menjalankannya secara fundamental untuk mengembalikan Polri pada hakikatnya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.

Diagnosis Krisis: Dari Kekerasan hingga Politisasi

Akar masalah yang menggerogoti Polri bersifat sistemik. Warisan budaya militeristik masih bertahan, termanifestasi dalam pendekatan represif yang mengabaikan hak asasi manusia. Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) periode Juli 2023-Juni 2024 mencatat ada 641 hingga 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi, mengakibatkan puluhan korban tewas. Di saat yang sama, Komnas HAM secara konsisten menempatkan Polri sebagai institusi yang paling banyak diadukan masyarakat.

Masalah ini diperparah oleh politisasi institusi, yang melahirkan julukan sinis "Parcok" (Partai Coklat), merefleksikan persepsi bahwa Polri telah menjadi instrumen politik partisan. Posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden membuatnya rentan ditarik ke dalam kepentingan politik penguasa, mengikis netralitas yang diamanatkan undang-undang. Ditambah lagi dengan isu korupsi yang kronis—di mana Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi nilai 'E' atau sangat buruk untuk kinerja penindakan korupsi Polri—serta gaya hidup hedonis sebagian anggotanya, jurang antara Polri dan masyarakat pun semakin lebar.

Resep yang Keliru: Bahaya RUU Polri "Superbody"

Di tengah tuntutan publik untuk pengawasan yang lebih ketat dan pembatasan wewenang, RUU Polri 2025 justru menawarkan resep yang keliru. Draf ini secara drastis memperluas kewenangan Polri di ranah siber dan intelijen dengan definisi yang sangat kabur, seperti "pengamanan Ruang Siber" dan "penggalangan intelijen" untuk "kepentingan nasional". Koalisi masyarakat sipil menilai pasal-pasal ini adalah cek kosong yang dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan mengkriminalisasi suara kritis. Ironisnya, penambahan kekuasaan ini tidak diimbangi dengan penguatan lembaga pengawas eksternal seperti Kompolnas, yang dalam RUU tersebut kewenangannya tetap lemah dan subordinat di bawah Presiden.

6 Langkah Solusi Ideal untuk Reformasi Total Polri

Untuk keluar dari krisis ini, diperlukan peta jalan reformasi yang jelas, terbagi dalam tindakan jangka pendek yang cepat dan perubahan jangka panjang yang mendasar.

Jangka Pendek: 3 Langkah Cepat Membangun Kembali Kepercayaan

  1. Wajibkan Kamera Tubuh (Body-Worn Cameras) Nasional: Implementasi BWC secara nasional bagi petugas di lapangan akan menjadi alat pengawasan paling efektif untuk mengurangi kekerasan, mencegah pungli, dan memberikan bukti objektif saat terjadi pelanggaran.
  2. Ciptakan Sistem Pengaduan Publik yang Transparan: Untuk melawan fenomena "No Viral, No Justice", Polri harus membangun portal pengaduan nasional yang terintegrasi, di mana pelapor bisa melacak perkembangan kasusnya secara real-time. Ini akan memulihkan kepercayaan pada mekanisme formal.
  3. Hentikan Gaya Hidup Hedonis Secara Tegas: Menegakkan aturan internal yang sudah ada mengenai larangan gaya hidup mewah adalah langkah simbolis yang kuat. Ini menunjukkan empati dan komitmen Polri untuk menjadi bagian dari masyarakat, bukan elite yang terpisah.

Jangka Panjang: 3 Fondasi untuk Perubahan Sistemik

  1. Rombak Struktur Kelembagaan dengan Model Hibrida: Posisi Polri yang langsung di bawah Presiden terbukti problematis. Solusi idealnya adalah model hibrida: tempatkan Polri di bawah kementerian sipil untuk urusan kebijakan dan anggaran, namun bentuk Komisi Kepolisian Nasional yang baru dan berdaya (seperti model NPSC Jepang) yang memiliki wewenang mengikat atas standar profesional, promosi perwira tinggi, dan investigasi independen. Ini menyeimbangkan akuntabilitas demokratis dengan independensi profesional.
  2. Revolusi Pendidikan di Akpol dan SPN: Kurikulum pendidikan Polri harus dirombak total, meninggalkan paradigma militeristik dan berfokus pada mentalitas pelayanan (guardian, not warrior). Materi inti harus mencakup de-eskalasi konflik, keadilan prosedural, HAM, dan etika pelayanan publik untuk mencetak generasi polisi yang humanis.
  3. Audit Total Anggaran dan Berantas "Ekonomi Bayangan": Transparansi anggaran adalah kunci. Lakukan audit investigatif terhadap semua sumber pendanaan, termasuk dana non-APBN yang diduga menjadi bahan bakar faksionalisme dan impunitas. Arahkan anggaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pelatihan, bukan hanya untuk membeli peralatan represif.

Reformasi Polri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk menyelamatkan demokrasi. Ini bukan tentang melemahkan institusi, tetapi justru memperkuat negara dengan memastikan pilar penegak hukumnya bekerja untuk rakyat. Pemerintah dan DPR harus memiliki kemauan politik untuk menempuh jalan reformasi yang substantif, bukan sekadar konsolidasi kekuasaan yang akan semakin menggerus kepercayaan publik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun