JAKARTA -- Sebuah janji agung bernama Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dihidangkan kepada bangsa. Tujuannya mulia: menempa generasi emas dengan gizi seimbang. Namun, setelah berjalan beberapa bulan, nama itu kini terasa seperti sebuah lelucon pahit. Di piring anak-anak dan di neraca keuangan negara, "Bergizi" telah menjelma menjadi "Berbahaya", sementara "Gratis" ternyata harus dibayar mahal oleh para korban.
Program ini bukan lagi sekadar kebijakan yang perlu dievaluasi; ia telah menjadi sebuah darurat nasional yang menuntut pertanggungjawaban.
Para Korban: Anak-Anak Keracunan, Ibu Kantin Kelaparan
Korban pertama dan paling tragis dari program ini adalah target utamanya sendiri: anak-anak sekolah. Alih-alih mendapatkan nutrisi, ribuan dari mereka justru mendapatkan tiket ke unit gawat darurat. Hingga September 2025, lebih dari 6.400 siswa di berbagai penjuru negeri dilaporkan tumbang akibat keracunan massal setelah menyantap hidangan MBG. Dari Jawa Barat hingga Nusa Tenggara, sekolah berubah menjadi klaster penyakit.
Penyebabnya bukan kecelakaan, melainkan kelalaian sistemik. Investigasi menemukan bakteri berbahaya seperti E.coli dan Salmonella pada makanan. Dari 8.583 dapur yang beroperasi, hanya 34 yang memiliki sertifikat laik higiene. Ini bukan lagi soal gizi; ini soal keselamatan dasar yang gagal dijamin oleh negara.
Korban berikutnya adalah ekonomi rakyat kecil. Program yang katanya pro-wong cilik ini ternyata menjadi mesin pembunuh bagi ibu-ibu pengelola kantin. Omzet mereka anjlok hingga 70%. Warung yang tadinya ramai kini sepi karena anak-anak sudah kenyang oleh jatah gratis yang sering kali tak jelas kualitasnya.
Bagi UMKM yang nekat menjadi mitra, nasibnya tak lebih baik. Mereka terjerat dalam skema pembayaran yang kejam, di mana mereka harus menalangi biaya operasional terlebih dahulu. Kasus vendor di Kalibata yang merugi hampir Rp1 miliar karena tak kunjung dibayar adalah puncak gunung es dari sebuah sistem yang mengkhianati mitranya sendiri.
Anggaran Mubajir: Triliunan Rupiah untuk Apa?
Dengan anggaran fantastis sebesar Rp71 triliun untuk tahun pertama saja, publik berhak bertanya: untuk apa uang sebanyak itu jika hasilnya adalah racun dan kebangkrutan?.
Inilah letak kemubaziran terbesar: ilusi anggaran. Pemerintah memangkas biaya per porsi dari estimasi ideal Rp15.000 menjadi sekitar Rp10.000, sebuah angka yang menurut saya pun tidak masuk akal untuk menyediakan makanan yang benar-benar bergizi.
Pemangkasan ini memaksa para penyedia makanan untuk mengambil jalan pintas: menggunakan bahan baku berkualitas rendah dan mengabaikan standar kebersihan demi menekan biaya. Hasilnya, anggaran triliunan rupiah tidak menjadi investasi gizi, melainkan hanya menjadi bahan bakar untuk sebuah mesin logistik raksasa yang menghasilkan makanan berkualitas buruk dan berbahaya. Uang negara dihamburkan bukan untuk gizi, melainkan untuk membiayai sebuah operasi yang gagal total dalam mencapai tujuannya, sebuah potensi kerugian negara yang patut diaudit secara menyeluruh.