Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MBG: Makan Bergizi Gratis Menjelma Menjadi Makan Berbahaya Gratis

25 September 2025   18:40 Diperbarui: 25 September 2025   18:40 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
NISAN MAKAN BERBAHAYA GRATIS 

JAKARTA -- Sebuah janji agung bernama Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dihidangkan kepada bangsa. Tujuannya mulia: menempa generasi emas dengan gizi seimbang. Namun, setelah berjalan beberapa bulan, nama itu kini terasa seperti sebuah lelucon pahit. Di piring anak-anak dan di neraca keuangan negara, "Bergizi" telah menjelma menjadi "Berbahaya", sementara "Gratis" ternyata harus dibayar mahal oleh para korban.

Program ini bukan lagi sekadar kebijakan yang perlu dievaluasi; ia telah menjadi sebuah darurat nasional yang menuntut pertanggungjawaban.

Para Korban: Anak-Anak Keracunan, Ibu Kantin Kelaparan

Korban pertama dan paling tragis dari program ini adalah target utamanya sendiri: anak-anak sekolah. Alih-alih mendapatkan nutrisi, ribuan dari mereka justru mendapatkan tiket ke unit gawat darurat. Hingga September 2025, lebih dari 6.400 siswa di berbagai penjuru negeri dilaporkan tumbang akibat keracunan massal setelah menyantap hidangan MBG. Dari Jawa Barat hingga Nusa Tenggara, sekolah berubah menjadi klaster penyakit.

Penyebabnya bukan kecelakaan, melainkan kelalaian sistemik. Investigasi menemukan bakteri berbahaya seperti E.coli dan Salmonella pada makanan. Dari 8.583 dapur yang beroperasi, hanya 34 yang memiliki sertifikat laik higiene. Ini bukan lagi soal gizi; ini soal keselamatan dasar yang gagal dijamin oleh negara.

Korban berikutnya adalah ekonomi rakyat kecil. Program yang katanya pro-wong cilik ini ternyata menjadi mesin pembunuh bagi ibu-ibu pengelola kantin. Omzet mereka anjlok hingga 70%. Warung yang tadinya ramai kini sepi karena anak-anak sudah kenyang oleh jatah gratis yang sering kali tak jelas kualitasnya.

Bagi UMKM yang nekat menjadi mitra, nasibnya tak lebih baik. Mereka terjerat dalam skema pembayaran yang kejam, di mana mereka harus menalangi biaya operasional terlebih dahulu. Kasus vendor di Kalibata yang merugi hampir Rp1 miliar karena tak kunjung dibayar adalah puncak gunung es dari sebuah sistem yang mengkhianati mitranya sendiri.

Anggaran Mubajir: Triliunan Rupiah untuk Apa?

Dengan anggaran fantastis sebesar Rp71 triliun untuk tahun pertama saja, publik berhak bertanya: untuk apa uang sebanyak itu jika hasilnya adalah racun dan kebangkrutan?.

Inilah letak kemubaziran terbesar: ilusi anggaran. Pemerintah memangkas biaya per porsi dari estimasi ideal Rp15.000 menjadi sekitar Rp10.000, sebuah angka yang menurut saya pun tidak masuk akal untuk menyediakan makanan yang benar-benar bergizi.

Pemangkasan ini memaksa para penyedia makanan untuk mengambil jalan pintas: menggunakan bahan baku berkualitas rendah dan mengabaikan standar kebersihan demi menekan biaya. Hasilnya, anggaran triliunan rupiah tidak menjadi investasi gizi, melainkan hanya menjadi bahan bakar untuk sebuah mesin logistik raksasa yang menghasilkan makanan berkualitas buruk dan berbahaya. Uang negara dihamburkan bukan untuk gizi, melainkan untuk membiayai sebuah operasi yang gagal total dalam mencapai tujuannya, sebuah potensi kerugian negara yang patut diaudit secara menyeluruh.

Siapa yang Bertanggung Jawab? Menunjuk Hidung dan Menuntut Keadilan

Di tengah kekacauan ini, pertanggungjawaban menjadi barang langka. Namun secara hukum dan teori kebijakan publik, akuntabilitas dapat ditelusuri dengan jelas.

Di tingkat operasional, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator pelaksana adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Kegagalan BGN dalam menciptakan sistem yang aman, transparan, dan adil bagi semua pihak adalah akar dari semua masalah di lapangan. Mulai dari tata kelola yang "semrawut", penggunaan yayasan perantara yang tidak akuntabel, hingga skema pembayaran yang merugikan vendor, semua berpusat pada kegagalan lembaga ini adalah bukti nyata kegagalan manajerial.

Namun, tanggung jawab tertinggi berada di pundak Pemerintah dan Presiden Prabowo Subianto sebagai penggagas utama. Keputusan untuk menggulirkan program ini secara tergesa-gesa tanpa payung hukum yang kuat setingkat Peraturan Presiden (Perpres) adalah "dosa asal" dari kebijakan ini. Tanpa aturan main yang jelas dan mengikat, program ini menjadi liar dan tak terkendali. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Good Governance-terutama Rule of Law (Kepastian Hukum) dan Akuntabilitas-yang menjadi fondasi administrasi publik yang sehat.

Pemerintah secara eksplisit memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan pangan bagi warganya, seperti yang tertuang dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Ketika negara sendiri yang menjadi penyelenggara dan gagal memenuhi standar tersebut hingga menyebabkan ribuan korban, maka ini bukan lagi sekadar kesalahan kebijakan, melainkan potensi pelanggaran hukum yang serius.

Pada akhirnya, program Makan Bergizi Gratis telah menjelma menjadi Makan Berbahaya Gratis. Pertanyaannya bukan lagi apakah program ini perlu dievaluasi, tetapi kapan para penanggung jawab akan dimintai pertanggungjawaban atas korban yang berjatuhan dan anggaran yang terbuang sia-sia, dan juga pemerintah akan berhenti menjadikan kesehatan anak-anak dan kelangsungan hidup UMKM sebagai kelinci percobaan untuk sebuah ambisi politik yang dieksekusi secara membabi buta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun