Mohon tunggu...
Mulyadi SH MH
Mulyadi SH MH Mohon Tunggu... Penulis

Dengan menulis pemikiran kita dapat tersampaikan, menulis juga merupakan senjata intelektualitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mesin Ekonomi Kehabisan Bensin: SPBU Sekarat, Pemerintah Jadi Penonton?

22 September 2025   19:00 Diperbarui: 24 September 2025   16:16 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI MESIN EKONOMI KEHABISAN BENSIN

Jakarta -- Di saat pemerintah menggaungkan target pertumbuhan ekonomi setinggi langit, ada suara mesin yang batuk-batuk nyaris mati di garda terdepan distribusi energi. Ribuan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh Indonesia kini bukan lagi sekadar bisnis yang untungnya tipis, melainkan pasien di ruang gawat darurat yang dibiarkan tanpa infus.

Penyakitnya kronis: keuntungan mereka dibekukan di era sepuluh tahun lalu, sementara biaya operasional dicekik oleh realitas harga hari ini. Pertanyaannya, apakah pemerintah sengaja membiarkan "pom bensin" di ujung jalan rumah Anda tutup, dan melumpuhkan logistik nasional demi stabilitas harga yang semu?

Disuruh Hidup di 2025 dengan Gaji 2010

Bayangkan Anda digaji dengan standar upah tahun 2013, tapi harus membayar tagihan listrik, UMK karyawan, dan PBB dengan harga tahun 2025. Mustahil? Itulah kenyataan pahit yang dihadapi setiap pengusaha SPBU.

Margin keuntungan mereka dipatok kaku di angka ratusan perak per liter, sebuah angka yang mungkin masuk akal saat harga Pertamax masih di bawah Rp 10.000. Kini, dengan semua biaya meroket, angka itu menjadi lelucon yang tragis. Setiap liter BBM yang terjual bukan lagi sumber untung, melainkan sekadar setoran untuk menutupi biaya gaji, listrik, pajak, dan kerugian BBM yang menguap (losses). Akibatnya? SPBU di daerah-daerah sepi pembeli kini memilih antara dua takdir: beroperasi sambil merugi atau tutup selamanya, mengubah lahan strategis mereka menjadi ruko yang lebih menjanjikan.

Aturan yang Jadi Pajangan

Yang paling absurd dari drama ini adalah solusinya sudah tertulis hitam di atas putih dalam peraturan pemerintah. Regulasi secara eksplisit menyatakan bahwa margin SPBU bisa ditetapkan dalam rentang 5% hingga 10% dari harga dasar.

Namun, aturan ini seolah hanya menjadi hiasan di rak arsip. Pemerintah memiliki "peluru" untuk menyesuaikan margin secara adil tanpa perlu mengubah undang-undang, namun memilih untuk tidak menarik pelatuknya. Mereka lebih suka melihat para pengusaha "berdarah-darah" menalangi biaya, daripada mengambil langkah kebijakan yang mungkin sedikit tidak populer.

Siapa yang Jadi Sandera?

Jika Pemerintah berpikir ini hanya masalah pengusaha, Pemerintah salah besar. SPBU yang tutup di jalur Pantura atau di pelosok Sulawesi bukan hanya berarti hilangnya satu bisnis. Itu berarti truk pengangkut sembako harus mencari BBM lebih jauh, ambulans di desa terpencil berisiko kehabisan solar, dan biaya logistik nasional membengkak. Pada akhirnya, yang menjadi sandera adalah kita semua masyarakat sendiri. Ekonomi yang digadang-gadang akan melesat justru terancam mogok karena mesin distribusinya dibiarkan rusak parah.

Sebuah Ironi di Era "Gaspol" Ekonomi

Di tengah kebijakan "gaspol" ekonomi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang pro-pertumbuhan, membiarkan SPBU mati suri adalah sebuah ironi yang menusuk. Pemerintah ingin ekonomi berlari kencang, tapi lupa mengisi bensinnya.

Kini, menaikkan margin SPBU bukan lagi soal memanjakan pengusaha. Ini adalah instrumen stimulus paling logis yang sejalan dengan agenda pemerintah. Memberikan margin yang sehat berarti menyuntikkan kehidupan pada infrastruktur vital, mendorong investasi baru, dan memastikan mesin ekonomi tidak berhenti berderak.

Pilihannya kini ada di tangan pemerintah: terus menjadi penonton dari krisis yang mereka ciptakan sendiri, atau mengambil langkah berani untuk menyelamatkan urat nadi ekonomi bangsa sebelum benar-benar putus.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun