Jakarta -- Di saat pemerintah menggaungkan target pertumbuhan ekonomi setinggi langit, ada suara mesin yang batuk-batuk nyaris mati di garda terdepan distribusi energi. Ribuan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh Indonesia kini bukan lagi sekadar bisnis yang untungnya tipis, melainkan pasien di ruang gawat darurat yang dibiarkan tanpa infus.
Penyakitnya kronis: keuntungan mereka dibekukan di era sepuluh tahun lalu, sementara biaya operasional dicekik oleh realitas harga hari ini. Pertanyaannya, apakah pemerintah sengaja membiarkan "pom bensin" di ujung jalan rumah Anda tutup, dan melumpuhkan logistik nasional demi stabilitas harga yang semu?
Disuruh Hidup di 2025 dengan Gaji 2010
Bayangkan Anda digaji dengan standar upah tahun 2013, tapi harus membayar tagihan listrik, UMK karyawan, dan PBB dengan harga tahun 2025. Mustahil? Itulah kenyataan pahit yang dihadapi setiap pengusaha SPBU.
Margin keuntungan mereka dipatok kaku di angka ratusan perak per liter, sebuah angka yang mungkin masuk akal saat harga Pertamax masih di bawah Rp 10.000. Kini, dengan semua biaya meroket, angka itu menjadi lelucon yang tragis. Setiap liter BBM yang terjual bukan lagi sumber untung, melainkan sekadar setoran untuk menutupi biaya gaji, listrik, pajak, dan kerugian BBM yang menguap (losses). Akibatnya? SPBU di daerah-daerah sepi pembeli kini memilih antara dua takdir: beroperasi sambil merugi atau tutup selamanya, mengubah lahan strategis mereka menjadi ruko yang lebih menjanjikan.
Aturan yang Jadi Pajangan
Yang paling absurd dari drama ini adalah solusinya sudah tertulis hitam di atas putih dalam peraturan pemerintah. Regulasi secara eksplisit menyatakan bahwa margin SPBU bisa ditetapkan dalam rentang 5% hingga 10% dari harga dasar.
Namun, aturan ini seolah hanya menjadi hiasan di rak arsip. Pemerintah memiliki "peluru" untuk menyesuaikan margin secara adil tanpa perlu mengubah undang-undang, namun memilih untuk tidak menarik pelatuknya. Mereka lebih suka melihat para pengusaha "berdarah-darah" menalangi biaya, daripada mengambil langkah kebijakan yang mungkin sedikit tidak populer.
Siapa yang Jadi Sandera?
Jika Pemerintah berpikir ini hanya masalah pengusaha, Pemerintah salah besar. SPBU yang tutup di jalur Pantura atau di pelosok Sulawesi bukan hanya berarti hilangnya satu bisnis. Itu berarti truk pengangkut sembako harus mencari BBM lebih jauh, ambulans di desa terpencil berisiko kehabisan solar, dan biaya logistik nasional membengkak. Pada akhirnya, yang menjadi sandera adalah kita semua masyarakat sendiri. Ekonomi yang digadang-gadang akan melesat justru terancam mogok karena mesin distribusinya dibiarkan rusak parah.
Sebuah Ironi di Era "Gaspol" Ekonomi