Mohon tunggu...
mulia nasution
mulia nasution Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Pernah bekerja sebagai jurnalis The Jakarta Post, RCTI, Trans TV. Sekarang bergiat sebagai trainer jurnalistik, marketing dan public relations

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Rahasia Kemenangan

30 Januari 2019   10:37 Diperbarui: 30 Januari 2019   10:44 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

DI DALAM bus kota, Turi merasakan sekujur tubuhnya bersimbah peluh. Dari dahinya mengucur keringat berbau asin. Sebelah tangan gadis itu berpegangan teguh pada cantelan di rusuk kabin bus, sementara tangan yang lain menggamit map hijau yang sudah lusuh . Hampir saja Turi terbatuk-batuk ketika seorang anak muda---yang berdiri di sampingnya, mengepulkan asap rokok kretek. Dan bau keringat yang beragam di dalam bus kota sangat menyengat, nyaris pula membuatnya muntah. Tetapi untunglah, minyak angin yang sengaja ia simpan di dalam saku rok dapat menyelamatkan Turi  dari bau menyengat,   dan rasa mual.

Bepergian dengan bus kota, bukan sesuatu  yang ganjil dan asing lagi bagi Turi. Dulu ketika ia masih duduk di bangku SMA, ia selalu memilih naik bus kota untuk mengantarnya ke sekolah. Selain irit, tentu saja gadis itu dapat menikmati dan sekaligus  menghayati kesusahan hidup masyarakat dari golongan ekonomi bawah seperti juga kehidupan keluarganya  yang sederhana---jika tidak boleh dikatakan morat-marit . Tentu saja akhir-akhir ini berbeda. Turun-naik bus kota bagi  gadis itu bukan mau pergi atau pulang dari sekolah. Tidak!

Hampir tiga pekan naik bus kota ini selalu  ditekuni Turi. Sambil mengepit map, gadis belia itu senantiasa setia di dalam bus kota---yang  mengantar ke tempat yang mau dituju. Maka, entah sudah berapa kali Turi menyaksikan kecurangan yang merugikan penumpang terjadi di dalam bus kota, dan ia sendiri tak pernah berminat menghitungnya. Sebagaimana penumpang lain yang enggan membuka mulutnya, tentu saja Turi terseret keadaan cuek, dan ia merasa kecut jika berteriak lantang agar dapat mengagalkan aksi para pencopet ulung.

Tetapi kali ini hatinya menjerit. Nalurinya merintih ketika seorang muda-- berkacamata hitam, tengah berusaha menggaet dompet seorang nenek tua. Sikap Turi---sungguh jauh dari tega agar membiarkan kelancangan tersebut terjadi. Mulut tak lagi bisa ia kekang, apalagi menguncinya rapat-rapat!

"Copet! Copet! Awas copet!" teriaknya lantang.

Seketika penumpang bus kota gusar dan terjadi kegaduhan. Sambil menyelamatkan isi kantong masing-masing, para penumpang meneliti wajah sesama penumpang---yang berada di sisi  mereka. Ada yang mengerutkan dahi, ada yang pura-pura masa bodoh, ada pula yang hanya memandang ke jalan raya di luar sana. Bahkan ada yang  cuek pura-pura bloon.


 "Copet ! Pelakunya pria yang berdiri di samping nenek tua bertongkat itu ! Pria yang pakai kacamata hitam !"teriak Turi sambil menudingkan telunjuk .

Tiga orang anak muda---sebaya si kacamata hitam, berhamburan keluar ketika bus kota melaju perlahan---karena ada penumpang lain mau turun. Anehnya---dan hal itu menyebabkan Turi melipat kerut dahinya, tak seorang pun yang tergerak hatinya agar meringkuk ketiga pencopet tersebut .

"Kenapa tidak dikejar?" pancing seseorang ketika menyaksikan semua penumpang, bahkan kondektur dan sang sopir hanya terpaku pada posisi tempat semula.

Tak ada yang bergeming! Tiada seorang pun yang menyahut. Dan para penumpang lain, tidak lebih baik dari seseorang---yang menyulut amarah maupun kenekatan itu. Masing-masing tenggelam dalam ilusinya, membayangkan kekurangajaran ketiga anak muda---yang memanfaatkan kesempatan jahat dalam kesumpekan bus kota.

                                                           

                                                ***

Turi melangkah lesu. Ia merasakan tubuhnya lemas. Ketika ia meninggalkan kantor jawatan itu, si gadis manis tengah bergulat membendung kesedihan hatinya. Entah sudah berapa kali penolakan ganjil seperti itu yang ia terima. Turi sendiri enggan  berminat menghitung jumlah kantor, perusahaan swasta maupun jawatan---yang memperlakukan dirinya seperti tadi: menolak lamarannya. Berbagai dalih yang mereka ketengahkan agar menampik kehadiran Turi. Ada yang mengatakan, Turi tak punya ijazah mengetik dan kursus komputer! Belum punya pengalaman kerja! Nilai ijazah yang terlalu rendah ! Dan yang paling menyakitkan, bahkan membuat Turi risau karena terlalu biasa: Tidak ada lowongan! Padahal menurut 'orang dalam' yang memberi info, lowongan justru hanya bagi keluarga orang-orang tertentu saja---mungkin keluarga pejabat atau direksi.

Turi terpaku sesaat sambil menghela napas panjang. Kemudian gadis itu tertatih menuju shelter sambil mengepit lamarannya. Dalam keadaan hati yang galau seperti ini, ia cuma mampu  menghibur diri dan mencoba untuk memahami  kenyataan bahwa jumlah peminat lapangan kerja sudah membludak, sementara  lapangan kerja---yang dapat menampung mereka, jauh dari menyukupi.  Sialnya lagi, Turi memang tak punya keterampilan istimewa---yang dapat menunjang kesuksesannya. Menjahit blus untuk wanita? Uh, gadis itu sungguh jauh dari  pandai buat kerjaan menjahit. Turi hanya bisa bila ditugaskan menyetrika atau melipat kain. Keterampilan komputer? Ah, dulu ketika masih SMA ia memang pernah berangan-angan mau ikut Les Komputer dan Pembukuan. Namun keuangan keluarga yang 'senen-kemis', tak memungkinkan gadis itu memasuki kursus keterampilan seperti itu. Apalagi ikut kursus Bahasa Inggris berbiaya mahal, entahlah!

Hap! Turi melompat gesit ke dalam bus kota. Ia menerobos penumpang lain agar mencapai rusuk kabin bus. Pikirannya pun membayangkan di kabin bus kota ini seperti muatan sardencis di sebuah kaleng kecil. Tak jauh berbeda hal ini  dengan kepengaban yang ia rasakan pada angkutan umum---yang lain dan pernah ia nikmati. Berjejalan dan saling tumpang-tindih seperti ikan sardencis kalengan.

Di sebuah perempatan, Turi pun memberi isyarat pada sang kondektur. Bus yang ia tumpangi itu mengurangi kecepatan, dan berhenti di depan shelter. Gadis itu melompat gesit!

"Sekali ini aku harus memberanikan diri," Turi berkata di dalam hatinya.

Ya, kapan saatnya lagi?

"Tak perlu terlebih dulu menghadap Kepala Personalia sebagaimana kebiasaan pencari kerja---yang mengedepankan sopan-santun," pikirannya menerawang lagi.

Memang, gadis itu menginginkan agar langsung menghadap Pemimpin Perusahaan---yang barangkali saja akan memberinya lapangan pekerjaan.

Turi mengetuk pintu perlahan. Di dalam hati ia menggamit doa. Semoga  kali ini kekecewaan yang membludak, dapat pupus, dan  terobati rasa hausnya untuk bekerja. Apabila ia sudah bekerja dapat meringankan beban keluarga atau bahkan membantu kehidupan keluarga besarnya. Nggak apa toh jika studinya terhambat  lantaran kesederhanaan, dan  ekonomi sulit yang menerpa keluarga selama ini.

"Tetapi adik-adikku harus jadi Sarjana," Turi pernah menghibur hatinya seperti itu. "Mereka mesti jadi orang pintar dan jangan sampai mengemis-ngemis ke sana ke mari agar dikasih pekerjaan seperti diriku!"

 Memang, sudah lama gadis itu bertekad agar berkorban demi kelancaran sekolah adik-adiknya, dan supaya  kehidupan ekonomi keluarganya lebih baik lagi.

 "Barangkali perusahaan Bapak masih membutuhkan tenaga kerja?" Turi bertanya dengan sopan---setelah ia dipersilahkan duduk.

 Sesaat direktur---yang masih belia itu terdiam, lalu menatap Turi dengan sorot mata tajam. Lantas ia menjawab .          "Tidak. Perusahaan kami sudah punya tenaga kerja yang cukup. Bahkan sudah berlebih!"

"Apakah tak ada kebijaksanaan khusus  buat saya, Pak?"

 "Maaf, perusahaan kami belum membutuhkan tenaga baru lagi. Saudara belum membaca pemberitahuan di muka pintu: Tidak ada lowongan !"

Turi tertunduk. Ia menghela napas dengan ringkih. Belum lagi ia berdiri untuk minta pamit, seorang nenek tua, dan bertongkat, menerobos pintu. Terengah-engah ia memasuki kamar kerja Pimpinan Perusahaan itu. Tiba-tiba nenek tua memeluk Turi---yang lagi terkesima, dan tentu saja gadis itu terkesiap. Sungguh, sikap wanita tua itu membuat Turi terperanjat!

"Terima kasih, Nak. Terima kasih! Kalau anak  tak berani untuk berteriak tadi di dalam bus, mungkin uangku sudah ludes semua! Terima kasih atas keberanian dan ketulusan budimu. Semoga Tuhan membalas tekad dan keberanianmu !" kata wanita dengan suara tersengal-sengal.

Turi diam saja. Ia cuma mampu mengulas sesungging senyum pahit. Tetapi ketika Turi mau melangkah, sang direktur memintanya agar meninggalkan berkas lamaran tersebut .

                                                           ***

Tiga hari kemudian, seorang petugas pos membelokkan sepeda motor yang ia kendarai ke rumah Turi. Gadis itu bergegas mendapatkan petugas pos tersebut. Hah?! Sungguh, ia tak percaya pada matanya. Dibacanya berulang kali. Ya , siapa nyana? 

Turi pun membacanya  keras-keras. Nah, dapat Anda bayangkan alangkah ceria senyum gadis itu. Turi menerima sepucuk surat, dan  tentu saja surat istimewa. Yaitu surat panggilan dari sebuah perusahaan untuk mewawancarai tentang minatnya bekerja. Kami menunggu kedatangan saudara ke kantor kami di Jalan Pelangi, pukul 8.00 WIB pada 26 Februari .....Terima kasih atas kesediaan saudara ! Begitu tertulis pada surat tersebut .

                                                ***

Dan pagi itu, Turi berpakaian rapi. Segala kemungkinan yang akan membantu dalam wawancara telah ia persiapkan. Ketika meninggalkan rumah, gadis itu berdoa semoga kegigihannya selama ini untuk memperolah pekerjaan akan berbalas dengan kesuksesan .

Tentu saja senyumnya ceria siang itu. Bahkan, di siang hari yang lain, kegembiraannya melewati batas kebahagiaan pada saat menerima surat panggilan untuk wawancara final---seminggu yang lewat . Dan berikutnya, datang surat panggilan untuk segera bekerja di perusahaan itu. Surat itu diantar si tukang pos---yang kemarin mengantarkan surat panggilan wawancara pertama. Turi tersenyum lagi dengan manisnya.

Tetapi Turi  sungguh tak tahu. Orang  yang menggerakkan hati direktur---

yang masih muda untuk menerimanya bekerja menjadi karyawan baru, tak lain dari seorang nenek tua. Ya, nenek tua yang pernah diselamatkannya dari aksi jahil si tukang copet di kabin bus kota. Nenek tua yang belum lama ini datang dari dusun untuk menjumpai anaknya di kota. Dan sampai kini, hal itu  masih menjadi rahasia bagi Turi bahwa nenek tua itulah yang melahirkan sang direktur.  Pikiran Turi saat ini, hanya menduga bahwa nenek tua yang memeluknya di dalam ruang kerja sang direktur, tiada lebih dari seorang pengemis---yang meminta belas kasihan demi sesuap nasi  agar dapat mengusir lapar hari ini .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun