Allah telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan. terutama dalam kehidupan manusia, hal tersebut tampak jelas melalui hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dipertemukan untuk membentuk sebuah ikatan yang suci dan harmonis melalui ikatan pernikahan. oleh sebab itu pernikahan sendiri merupakan salah satu institusi sosial yang sangat pundamental dalam tatanan masyarakat indonesia, tempat di mana cinta sebagai unsur emosional bertemu dengan hukum sebagai kerangka regulasi. adapun di Indonesia meerupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. dinamika perkawinan di indonesia seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, terutama dalam prinsip-prinsip hukum islam. namun pertemuan antara cinta yang bersifat subjektif, penuh gairah dan personal dengan hukum yang tegas,objektif, serta berorientasi pada aturan yang kerap menimbulkan konflik dan tantangan tersendiri.
Di indonesia, perkawinan tidak hanya mengenai soal cinta antara dua insan yang saling mencintai, tetapi juga melibatkan nilai budaya,norma agama dan aturan hukum. berdasarkan data yang tertulis dalam Badan Pusat Statistik sekitar (80) % penduduk muslim yang ada di indonesia. sehinga prinsip-prinsip hukum islam memiliki pengaruh besar terhadap peraktik dan regulasi dalam urusan keluarga. namun, sistem dalam hukum indonesia bersipat pluralistik. di mana undang-undang pernikahan No 1 tahun 1974 menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan sesuai dengan ajaran agama masing-masing pasangan, dengan syarat wajib wajib dicatat secara resmi melalui lembaaga sipil. Kondisi ini menimbulkan interaksi menarik antara dimensi spiritual, kultural, dan yuridis dalam setiap ikatan pernikahan di mana cinta pribadi perlu senantiasa selaras dengan nilai-nilai agama sekaligus tuntutan hukum negara.
hukum islam memandang bahwa pernikahan sebagai sebuah aqad atau kontrak suci yang memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Nabi : "Nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengikutinya maka bukanlah dari golonganku" (HR. Ibn Majah). dalam konteks ini, cinta dipahami sebagai fondasi emosional yang penting, tetapi harus terikat oleh ketentuan hukum agar tidak menimbulkan kerusakan sosial (fasad). persoalan pun muncul ketika cinta dan hukum saling bertentangan seperti dalam kasus pernikahan beda agama atau pernikahan dini, yang hingga saat ini masih menjadi isu kompleks dalam masyarakat indonesia.
Prinsip Hukum Islam Dalam Perkawinan
Hukum Islam menyediakan suatu kerangka yang menyeluruh dalam mengatur tata cara dan pelaksanaan perkawinan, dengan orientasi utama untuk menegakkan keadilan, menjamin kesetaraan antara suami dan istri, serta mewujudkan kestabilan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Prinsip-prinsip dasar ini menjadi landasan moral dan hukum yang mengarahkan setiap aspek hubungan perkawinan agar berjalan selaras dengan ajaran syariat.
1. syarat-syarat Nikah : Menurut Al-Qur’an, khususnya Surah An-Nisa ayat 4, pernikahan seharusnya berlandaskan pada kesepakatan kedua belah pihak melalui ijab kabul, disertai pemberian mahar (mas kawin), serta kehadiran saksi yang sah. Prinsip-prinsip ini menggambarkan bahwa pernikahan bukan sekadar ikatan emosional, melainkan juga perjanjian hukum dan moral yang menuntut tanggung jawab. dalam konteks hukum indonesia, ketentuan ini bersinergi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur batas usia minimal pernikahan, yakni 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Meskipun demikian, muncul berbagai upaya revisi peraturan ini karena meningkatnya kesadaran terhadap dampak negatif pernikahan dini. Cinta memang dapat menjadi pendorong utama seseorang untuk menikah pada usia muda, namun Islam menekankan pentingnya pertimbangan rasional dan kematangan spiritual agar tidak timbul mudarat dalam rumah tangga. seperti yang di jelaskan dalam hadist jangan lah kalian menikahi wanita hanya karena kecantikannya, karena mungkin kecantikan itu menyesatkan. Jangan pula menikahi karena kekayaannya, karena mungkin kekayaan itu membuat sombong. Nikahlah karena agamanya" (HR. Bukhari). Dengan demikian, ajaran Islam berperan sebagai penyeimbang antara dorongan emosional cinta dan nilai-nilai moral agar pernikahan berlangsung secara sakral, harmonis, dan berkelanjutan.
2. Hak dan Kewajiban Pasangan : Hukum islam menetapkan hak dan kewajiban antara pasangan dalam rumah tangga, seorang suami memiliki tanggung jawab memberikan nafkah lahir maupun bathin sebagaimana di tegaskan dalam surah an-nisa ayat 34 yang artinya; laki-laki adalah penanggung jawab atas perempuan karna Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lainnyadan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari hartanya sst. sementara istri berhak memperoleh perlindungan, kasih sayang, dan penghormatan yang layak. Nilai cinta dalam pernikahan tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus diwujudkan melalui sikap saling memahami, menghargai, dan menunaikan kewajiban masing-masing. Apabila salah satu pihak melanggar hak pasangannya, seperti melakukan kekerasan atau pengabaian, hukum Islam memberikan ruang bagi penyelesaian melalui jalur hukum, termasuk perceraian jika perdamaian tak lagi memungkinkan. Di Indonesia, persoalan semacam ini ditangani oleh Pengadilan Agama yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah. Namun, sebelum talak dijatuhkan, Islam menganjurkan proses musyawarah atau mediasi (taḥkīm atau islah) sebagai langkah untuk memulihkan keharmonisan dan mencegah perpecahan keluarga.
3. poligami dan isu keadilan : Salah satu isu yang sering menimbulkan perdebatan adalah praktik poligami. Dalam Islam, poligami diperbolehkan sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 3, dengan syarat utama suami mampu bersikap adil. Di Indonesia, ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang mensyaratkan adanya persetujuan dari istri pertama. Dorongan emosional seperti cinta kerap menjadi alasan seseorang memilih berpoligami, namun ajaran Islam menekankan pentingnya keadilan sosial demi mencegah ketidakadilan dalam keluarga. Berbagai kasus di Indonesia menunjukkan bahwa konflik sering muncul ketika hubungan cinta kedua berhadapan dengan ketentuan hukum, menimbulkan persoalan hukum maupun sosial.
Interseksi Cinta dan Hukum dalam Dinamika Perkawinan indonesia
Pertemuan antara cinta dan hukum seringkali menghadirkan dinamika yang kompleks. Cinta lahir dari perasaan yang spontan dan penuh emosi, sedangkan hukum Islam menuntut keteraturan, tanggung jawab, dan batas yang jelas dalam setiap tindakan. realita dinamika yang seringkali muncul dalam masyarakat.
pernikahan beda agama : Pernikahan antara seorang Muslim dan non-Muslim secara tegas dilarang dalam hukum Islam, kecuali jika non-Muslim tersebut adalah wanita Ahli Kitab sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 yang artinya; “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang hamba sahaya wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita-wanita (muslimah) dengan lelaki musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang hamba sahaya lelaki yang beriman lebih baik daripada lelaki musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” dalam ketentuan ini islam menunjukkan bahwa keserasian aqidah sebagai fondasi utama dalam membangun keluarga. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur bahwa perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini sering kali menjadi penghalang bagi pasangan yang berbeda agama meskipun dilandasi oleh rasa cinta. Dengan demikian, baik hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia menegaskan bahwa cinta tetap harus sejalan dengan aturan agama dan hukum demi terwujudnya ketertiban serta keharmonisan sosial.
Tantangan dan isu kontemporer
Di Indonesia, dinamika perkawinan kian berkembang dan menjadi semakin kompleks akibat pengaruh globalisasi yang memperluas cara pandang, nilai, serta interaksi sosial masyarakat terhadap institusi pernikahan.
pernikahan dini:
Meskipun perasaan cinta di usia muda bisa terasa begitu mendalam, ajaran Islam menekankan pentingnya kedewasaan emosional dan kesiapan tanggung jawab, sebagaimana dijelaskan dalam Hadis mengenai akil baligh. Dalam konteks Indonesia, hubungan semacam ini kerap berbenturan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, yang memperlihatkan adanya ketegangan antara dorongan cinta pribadi dan ketentuan hukum negara yang melindungi masa depan generasi muda.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT):
Hukum Islam secara tegas melarang segala bentuk kekerasan, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nisa ayat 19 yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya " ayat ini memerintahkan agar memperlakukan pasangan dengan penuh kebaikan dan kehormatan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa cinta yang tidak dilandasi pemahaman yang benar dapat berubah menjadi perilaku yang melanggar hukum dan merugikan pihak lain. Dalam konteks ini, Pengadilan Agama berperan menegakkan keadilan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip syariah yang menjunjung kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab moral dalam hubungan rumah tangga.
kesimpulan;
Ketika cinta bersinggungan dengan hukum dalam dinamika perkawinan di Indonesia, hukum Islam hadir sebagai penyeimbang yang memadukan dimensi emosional dan moral. Nilai-nilai dasar seperti kesepakatan, keadilan, dan tanggung jawab yang bersumber dari Al-Qur’an serta Hadis berfungsi menjaga agar cinta tidak berhenti pada dorongan perasaan sesaat, melainkan berkembang menjadi fondasi yang meneguhkan rumah tangga. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki sistem hukum majemuk, dibutuhkan kebijakan dan adaptasi yang arif melalui pendidikan agama, pembinaan keluarga, serta reformasi hukum agar nilai-nilai syariat tetap relevan menghadapi tantangan zaman. Pada akhirnya, keberhasilan pernikahan sejati terletak pada keselarasan antara cinta dan hukum yang berjalan beriringan, menumbuhkan harmoni sosial yang berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI