Bahkan untuk mencapai tujuan menjadi terkenal, tak muskil ia harus rela mengeluarkan biaya akomodatif yang terbilang besar nominalnya.
Upaya Menegakkan komite, paguyuban, relawan, membayae lembagai survey bahkan menyewa semua media bahkan buzzer untuk mengenalkan diri ke publik berapapun bayaran akan dibayar.Â
Bak salesman menawarkan produk dagangan ke konsumen dengan manis tutur kata mengelabui agar bisa menutupi telinga dari  produk yang lain yang ia anggap sebagai kompetitor bisnis
Terkadan akhirnya membuat masyarakat awam menjadi binggung menetukan manakah madu yang asli dan manakah madu yang oplosan.
Dalam perumpamaan lain, seperti pertunjukan hiburan Sirkus. Para pemeran aksi pertunjukan ini dipanggung-panggung, menjadi badut konyol yang mengundang tawa penonton dari kekonyolan.
Sang badut terkadang berbusana Raja dengan pernak-pernik di sekujur tubuhnya. Bermahkota emas, bertahtakan permata, mutu menikam mata tetapi palsu bersinar bias pantulan cahaya kamera diwaktu pertunjukan.Â
Benarkah dia seorang Raja? Apakah pernak-pernik dipakainya rampasan perang hasil sebuah kemenangan atau penghargaan balas jasa dalam mengharumkan nama Bangsa?Â
Pantaskah ia berbusana seperti itu di kehidupan normal? Tentu jawabnya tidak. Dia akan ditertawakan dianggap gila, jika pakaian sirkus ia kenakan. Pakaian itu hanya pantas untuk dikenahkan dalam pertunjukan sirkus.
Sang pencari nama kemasyhuran yang pingin terkenal hampir sama teknik bermain peran dengan pertunjukan Badut sirkus, iya toh.
Tetapi, Badut sirkus hanyalah sebuah peran ketika pertunjukan usai semua pernak-pernik yang melekat akan dilepas. Ketika itu dia akan kembali seperti semula.Â
Badut sirkus lebih beruntung. Masyarakat awan tahu bahwa itu cuma peran hanya peran hanya untuk mencari sesuap nasi yang halal.