Peristiwa 1
Kepergian Bapak
Tahun 2004 adalah masa-masa terberat dalam hidupku, bulan Februari ayah  orang yang bukan saja sebagai Bapak tetapi juga mentor dalam hidup ini berpulang.
Kepergiannya begitu mendadak, hanya 3 malam di rawat dirumah sakit tanpa ada firasat apapun malam itu beliau pergi meninggalkan kami semua.
"Andi, kamu pulang sekarang ya, kasihan anak dan istrimu ditinggal dirumah, Bapak tidak apa-apa, ada mas mu dan ibu menemani disini". Saat itu pukul 22.00, aku menuruti permintaannya dan ternyata itu adalah pesan terakhir untuk ku. Pukul 01.30 gawai berdering "Mas, cepat kesini Bapak anfal". Suara kakak iparku begitu menyentak. Tanpa memberi jawaban aku melompat dari tempat tidur menggunakan pakaian seadanya, berlari ke garasi lalu memacu mobil menuju rumah sakit yang berjarak hanya 10 menit dari rumah.
Saat itu perasaanku campur aduk namun tetap berusaha fokus ditengah sepinya jalanan yang malam itu hanya dilalui oleh beberapa kendaraan.
Setibanya dirumah sakit dan memasuki ruang rawat, ibu, mas ku dan istrinya terlihat menangis sambil memegangi jasad yang telah terbujur kaku serta ditutupi selimut rumah sakit. Saat itu aku melihat mesin penopang hidup monitornya masih bergerak. Aku belum bisa berpikir jernih, rasa tidak percaya dan belum bisa menerima kenyataan masih menyelimuti diri ini. "Suster, itu monitornya masih bergerak, coba diupayakan mungkin salah diagnosis". Aku bertanya pada seorang perawat yang kala itu sedang merapihkan peralatan dikamar ayah. "Maaf mas, gelombang di monitor itu hanya efek dari getaran-getaran diotot-otot Bapak yang belum mereda, namun denyut jantung dan nafasnya sudah tidak ada". Ia berbicara sambil meraih tangan Bapak dan menunjukan pada ku bahwa denyutnya memang sudah tidak ada.
Mendapati kenyataan itu seluruh tubuh ini terasa bergetar hebat. Seseorang yang selama ini menjadi pahlawan dalam hidup ku secara mendadak pergi tanpa pesan dan tanda sebelumnya. Lutut ini terasa lemas dan lunglai. Kulihat ibu, istri mas ku masih menangis tersedu-sedu. Kakak ku yang biasa kupanggil mas Dio mendekat, sambil memegang pundak ku ia pun berkisah " Tadi jam 24.00 Bapak tiba-tiba sesak nafas lalu minta oksigen, cuma berselang 15 menit tiba-tiba hilang kesadaran namun masih ada detak jantungnya, dokter dan suster lalu memberi bantuan peralatan dan lain-lain, sampai tadi sempat di CPR juga, tapi ternyata jam 01.30 Bapak dinyatakan sudah tidak ada".
Aku memandang wajah mas Dio dengan tatapan tajam "Mas Dio kenapa tidak kasih kabar jam 12an tadi, kan aku bisa langsung kesini!" setengah marah aku membalas ceritanya". "Maafkan mas ya, kita semua panik, gak kepikiran mau telepon kamu". Ia merangkulku tiba-tiba tangis kami berdua pun pecah, dada ini terasa tercabik-cabik, ada rasa tidak nyaman yang muncul tanpai bisa dikendalikan.
Beberapa menit berselang aku mendengar suara ibu, "Andi, kamu sekarang pulang, biar ibu sama mas mu disini mengurus hal-hal yang diperlukan, kamu hubungi pak Haji ikhsan teman ayah di masjid, minta tolong bantu urus persiapan pemandian sampai pemakaman sama beliau ya". Masih dengan perasaan yang galau akupun mengangguk lalu berpamitan kembali ke rumah.
"Assalamualaikum pak Haji" aku mengetuk rumah pak Haji Ikhsan sekitar pukul 03.00, kebetulan tempat tinggal beliau hanya berjarak 100 meter dari rumah, di jalan tadi aku memutuskan untuk mendatangi beliau terlebih dahulu sebelum sampai rumah.