Dalam ilmu ekonomi, konsep biaya peluang (opportunity cost) mengacu pada manfaat yang dikorbankan ketika memilih satu opsi dibanding opsi lainnya. Konsep ini tidak hanya berlaku dalam pengambilan keputusan ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan ibadah. Keputusan seseorang dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sering kali membawa konsekuensi berupa keuntungan dan pengorbanan. Oleh karena itu, memahami biaya peluang dalam konteks kehidupan sehari-hari dapat membantu kita mengambil keputusan yang lebih bijak dan seimbang.
Salah satu contoh nyata dari konsep ini dapat dilihat dalam kehidupan seorang kyai atau ulama. Seorang kyai sering kali dihadapkan pada pilihan untuk mengajar santrinya di pesantren atau memenuhi undangan ceramah di masyarakat luas. Jika seorang kyai memutuskan untuk pergi berceramah, ia mendapatkan pahala karena telah membagikan ilmu dan menjadi pengingat bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, ia juga meninggalkan tanggung jawabnya dalam mendidik santri pada hari itu. Akibatnya, santri yang seharusnya mendapatkan ilmu pada waktu tersebut harus menunda pembelajaran mereka.
Dalam perspektif biaya peluang, keputusan kyai untuk pergi berceramah memiliki implikasi bahwa ia mengorbankan manfaat yang bisa diperoleh dari mengajar santri demi mendapatkan manfaat yang lebih besar, yaitu menyebarkan ilmu kepada masyarakat luas. Jika ia hanya berfokus pada pesantren, maka ilmu yang ia bagikan hanya terbatas pada santri, sementara masyarakat umum tidak mendapat manfaat dari ceramahnya. Dengan demikian, pilihan yang diambil oleh seorang kyai mencerminkan prinsip trade-off, yakni mengorbankan satu hal demi mendapatkan hal lain yang dianggap lebih bernilai.
Konsep ini juga selaras dengan ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin. Dalam kitab tersebut, Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam setiap amal perbuatan serta kebijaksanaan dalam menyeimbangkan antara tanggung jawab individu dan manfaat yang lebih luas. Seorang ulama yang memahami hakikat tasawuf akan melihat bahwa pengorbanan kecil dalam satu aspek dapat mendatangkan manfaat besar dalam aspek lain, asalkan didasarkan pada niat yang benar dan tujuan yang lebih mulia.
Dalam tasawuf, seorang alim atau ulama diharapkan untuk mempertimbangkan maslahat yang lebih luas dalam setiap keputusannya. Ini sejalan dengan konsep mashlahah mursalah, yaitu mengambil keputusan yang memberikan manfaat lebih besar untuk umat walaupun ada pengorbanan kecil yang harus dilakukan. Seorang kyai yang meninggalkan santrinya untuk berdakwah kepada masyarakat lebih luas mungkin terlihat mengabaikan sebagian tanggung jawabnya, tetapi jika hal itu membawa kebaikan yang lebih besar bagi banyak orang, maka keputusan tersebut tetap memiliki nilai spiritual yang tinggi.
Dalam konteks ini, muncul prinsip yang dikemukakan oleh Prof. DR. KH. Abdul Ghofur, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan, yaitu "berani melakukan dosa 10 demi meraih pahala 1000." Prinsip ini menekankan bahwa pengorbanan dalam satu aspek yang tampak sebagai kekurangan bisa saja menjadi ladang pahala yang jauh lebih besar jika diorientasikan untuk kepentingan yang lebih luas.
Prinsip ini bukan berarti membenarkan perbuatan dosa, tetapi lebih kepada memahami bahwa dalam setiap keputusan besar selalu ada risiko kecil yang harus dihadapi demi mencapai manfaat yang lebih luas. Misalnya, seorang kyai yang memilih meninggalkan pesantrennya sementara untuk memenuhi undangan dakwah mungkin merasa bersalah karena tidak bisa mengajar santrinya pada hari itu. Namun, jika ceramahnya mampu menyadarkan banyak orang untuk kembali kepada ajaran agama yang benar, maka pahala yang ia dapatkan bisa jauh lebih besar dibanding "dosa" kecil karena meninggalkan santrinya sejenak.
Dalam konsep ekonomi, prinsip ini dapat dianalogikan dengan strategi investasi jangka panjang. Seorang pengusaha mungkin harus mengorbankan keuntungan kecil dalam jangka pendek untuk berinvestasi pada inovasi yang akan memberikan manfaat lebih besar di masa depan. Pengorbanan ini terlihat sebagai kerugian awal, tetapi jika dilakukan dengan niat yang benar dan strategi yang tepat, hasilnya akan jauh lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan.
Konsep ini tidak hanya berlaku bagi kyai atau ulama, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan profesional. Seorang guru, misalnya, mungkin perlu mengorbankan waktunya untuk mengembangkan metode pengajaran baru agar di kemudian hari para muridnya bisa mendapatkan pembelajaran yang lebih efektif. Seorang dokter mungkin harus mengorbankan waktu istirahatnya untuk menangani pasien yang lebih membutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada pilihan di mana harus berkorban sedikit untuk mendapatkan hasil yang lebih besar di masa depan.
Dalam konteks dakwah, seorang ulama harus memiliki visi jauh ke depan dalam menyebarkan ilmu. Jika ia hanya berfokus pada kelompok kecil santrinya, maka dampak dari ilmunya akan terbatas. Namun, jika ia mau berkorban sedikit untuk menjangkau lebih banyak orang, maka manfaat yang diperoleh bisa jauh lebih besar. Hal ini sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh Prof. DR. KH. Abdul Ghofur bahwa terkadang kita harus "berani melakukan dosa kecil" demi mendapatkan pahala yang jauh lebih besar.
Kesimpulan